ENEWSINDONESIA.COM, BONE – Pembacaan Putusan perkara No. 30/Pid.B/2021/PN Wtp, yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Novie Ermawati, S.H., Hairuddin Tomu, S.H. (anggota majelis) dan Nurkautsar Hasan, S.H., M.H. (anggota majelis) dengan menjatuhkan vonis berasalah terhadap terdakwa kamaruddin dengan dijatuhi pidana 5 bulan penjara berdasarkan Pasal 170 Ayat (1), merupakan ancaman nyata bagi kelompok rentan (penyandang disabilitas) yang berhadapan dengan hukum. Pada prinsipnya, mengadili orang yang mengalami gangguan kejiwaan tanpa pemenuhan akomodasi yang layak dalam proses peradilan adalah hal yang tidak adil dan tidak manusiawi, karena mereka tidak cukup mampu membela dugaan tindakan yang dituduhkan pada hari Rabu, 14/04/2021.
Selain itu, proses peradilan a quo, bertentangan dengan prinsip HAM yang berdasarkan Artikel 14 Ayat (1) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR dan Pasal 3 International Convetion on the Ringhts Person with Disabilities yang juga telah diratifikasi melalui UU No 19/2011, terutama pada prinnsip Non-discrimination, Equality of opportunity, and Accessibility. A fortiori (argument) ini juga dikuatkan dengan Pasal 5 ayat (3) UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), pada pokoknya setiap orang/kelompok masyarakat yang rentan (penyandang disabilitas) berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan hak khusus yang diberikan.
Adapun temuan kami selaku penasehat hukum yang tergabung dalam Koalisi Pendamping Kelompok Rentan (KPKR) selama proses persidangan hingga putusan perkara ini sebagai berikut:
1. PUTUSAN HAKIM TIDAK MEMPERTIMBANGKAN FAKTA HUKUM SECARA OBJEKTIF
Berdasarkan pertimbangan majelis hakim yang beralasan mengabaikan akomodasi yang layak bagi terdakwa karena dari proses persidangan dimana terdakwa dapat menjawab dengan baik setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya oleh majelis hakim, penuntut umum dan penasehat hukumnya yang membuat majelis hakim tidak menemukan gejala-gejala terhadap terdakwa mengalami gangguan kejiwaan dan mampu menyangkal keterangan saksi di persidangan disertai dengan alasannya merupakan ertimbangan premature, a priori dan prejudice. Padahal bahasa putusan hakim adalah bahasa logika hukum. Berdasarkan Fakta hukum dalam persidangan, terungkap fakta sebagai berikut:
- Terdakwa pernah dirawat di Rumah Sakit Jiwa berdasarkan Alat bukti Surat Riwayat pelayanan Kesehatan Pasien JKN yang diterbitkan oleh BPJS Kabupaten Bone Tanggal 9 Februari 2021,
- Surat Keterangan Rawat Inap RSUD Latemmamala Soppeng Nomor 818/1236/RSUD/II/2019, dan Surat Keterangan RSUD Latemmamala Soppeng, menjelaskan dari hasil diagnosa, kamaruddin mengalami Gangguan Psikotik Akut, Skizofrenia.
- Alat bukti surat a quo, sesuai keterangan Saksi Wisman (saksi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum), sesuai dengan keterangan saksi, yakni: Saksi Burhan, Saksi Nurdiana, Saksi Jumarding, Saksi Rafly Fasya, yang diajukan oleh penasehat hukum terdakwa kesemuanya menerangkan bahwa terdakwa pernah dirawat di RSUD Latemmamala Soppeng.
Seharusnya, yang dilakukan oleh Hakim, secara langsung menyurat maupun memerintahkan Jaksa penuntut umum, mengajukan surat permohonan resmi kepada direktur/kepala rumah sakit/klinik utama/yang setara milik Pemerintah/ pemda, atau swasta untuk mendapat hasil berupa Visum et Repertum Psychiatricum (VeRP) berdasarkan Permenkes Nomor 77 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Jiwa. Padahal, Penasehat hukum terdakwa telah mengajukan surat kepada majelis hakim untuk dilakukan pemeriksaan kejiwaan sesuai dengan UU 8/2016, UU 18/2014, Permenkes 77/2015, sebelum jaksa penuntut umum melakukan pemeriksaan kondisi kesehatan melalui dokter umum. Seharusnya, hakim menilai tidak secara premature, a priori dan prejudice, terkait kondisi kejiwaan terdakwa tanpa adanya pemeriksaan lebih lanjut secara scientific (ilmiah) oleh dokter ahli jiwa/psikiater. Larangan penilaian tersebut telah ditegaskan Putusan Mahkamah Agung No.1607 K/PID/2013.
Selain itu, ratio legis (pertimbangan hukum) majelis hakim yang pada pokoknya mengatakan “surat keterangan kejiwaan yang berasal dari RS Latemmamala hanyalah berupa Surat keterangan yang menjelaskan bahwa terdakwa pernah dirawat inap RSUD Latemmamala Soppeng dan bukan merupakan hasil rekam medis atau laporan-laporan kesehatan yang merupakan hasil pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pengayaan terhadap pasien. Sehingga dapat diketahui secara lengkap dan menyeluruh.”
Harusnya Majelis Hakim memuat Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No. 215 K/Pid/2005, yang dimana pembuktian terhadap kondisi kejiwaan terdakwa berdasarkan keterangan dari Rumah Sakit Jiwa Dadi Makassar dan Putusan Mahkamah Agung No. 1537 K/PID/2010 yang berdasarkan Surat Keterangan Dokter Lembaga Permasyarakatan Klas II A Kediri dan surat keterangan dari Kepala Desa Sumberejo tertanggal 05 Mei 2010 Nomor: 470/119/418.104.02.325/2010 yang menerangkan bahwa Terdakwa tersebut benar-benar menderita sakit gangguan jiwa dan pernah dirawat di Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang Malang, sebagaimana pada pledoi penasehat hukum terdakwa.
2. PUTUSAN HAKIM PENGADILAN KELAS I A WATAMPONE TELAH MENGABAIKAN PEMENUHAN HAK TERDAKWA BERUPA AKOMODASI YANG LAYAK DALAM PROSES PERADILAN
Bahwa ratio legis hakim dalam putusan menimbang “Bahwa terdakwa telah diperiksa kejiwaannya melalui penuntut umum dan berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut tidak tampak mengalami gangguan kejiwaan psikologi akut.” dan “penasehat hukum juga telah diberikan kesempatan untuk memeriksa lebih lanjut kondisi kejiwaan terdakwa setelah pemriksaan kondisi kesehatan yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum. Tetapi tidak menggunakan upaya hukum tersebut”dinilai sebagai berikut:
Menurut kami, pertimbangan hakim tidak sesuai Ketentuan perundang-undangan. Seharusnya majelis hakim melakukan penafsiran sistematis, yakni: mengaitkan norma KUHAP, dengan peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur berdasarkan Pasal 3 UU No. 19 Tahun 2011, terutama pada prinnsip Non-discrimination, Equality of opportunity, and Accessibility; Pasal 5 ayat (3), Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM); (3) Pasal 71 ayat (1) dan (2), UU No.18/2014 Tentang Kesehatan Jiwa; Pasal 30 Ayat (1) huruf b, UU NO. 8/2016 Tentang Penyandang Disabilitas; (5) Pasal 15 ayat (2), PP No. 39/2020 Tentang Akomodasi Yang Layak; Pasal 7 sampai dengan Pasal 18, Permenkes No. 77/2015 Tentang Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Jiwa Untuk Kepentingan Penegakan Hukum.
Norma di atas pada prinsipnya Aparat Penegak hukum (tidak termasuk penasehat hukum), khususnya penyidik, Jaksa penuntut umum, dan hakim wajib melakukan pemeriksaan kesehatan kejiwaan terhadap terdakwa yang bertujuan untuk memastikan kemampuan seseorang dalam mempertanggungjawabkan tindak pidana yang telah dilakukannya dan/atau menentukan kecakapan hukum seseorang untuk menjalani proses peradilan melalui dokter ahli kejiwaan dan/atau psikiater. Bukan pemeriksaan kejiwaan melalui dokter umum sebagaimana pemeriksaan kondisi kesehatan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum yang telah dipertimbangkan oleh hakim secara keliru, karena pada prinsipnya tidak sesuai dengan Permenkes No. 77/2015. A fortiori, berdasarkan Permenkes a quo, yang dapat melakukan pemeriksaan kejiwaan terdakwa dengan mengajukan surat resmi kepada direktur/kepala rumah sakit/klinik utama/yang setara milik Pemerintah/ pemda, atau swasta adalah Penyidik, penuntut umum, dan hakim pengadilan. Bukan penasehat hukum terdakwa.
Penasehat Hukum terdakwa sangat menyangkan putusan Hakim yang tidak menginternalisasikan Keputusan Keputusan Direktur Jenderal dan Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung No: 1692/DJU/SK/PS.00/12/2020 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Bagi Penyandang Disabilitas di Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri, kepada hakim, yang berimpak pada “pembangkangan” hakim terhadap kebijakan BADILUM a quo. yang tidak melakukan penilaian personal pidana sebagai bentuk Akomodasi yang layak dalam proses peradilan untuk penyandang disabilitas. Padahal, kebijakan tersebut mengikat secara internal kepada hakim pengadilan negeri. A fortiori, Pengadilan Kelas I A Watampone, selama ini merupakan pengadilan percontohan peradilan inklusi di Sulawesi Selatan.
Berdasarkan dari uraian tersebut, Kami penasehat hukum terdakwa kamaruddin alias Andong, menilai bahwa Majelis Hakim PN Watampone gagal mengimplementasikan konsep peradilan inklusi dan Telah Mengabaikan Pemenuhan Hak Terdakwa Berupa Akomodasi Yang Layak Dalam Proses Peradilan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam memeriksa dan mengadili perkara a quo. Padahal, hakim sebagai la bouche de laloi (dianggap tahu Hukum/peraturan-UU-an.
Selama ini, Pengadilan Kelas I A Watampone menyandang predikat pengadilan aksesibel terhadap penyandang disabilitas sekaligus merupakan pengadilan percontohan penerapan peradilan inklusi. Sehingga, Implikasi hukum putusan hakim a quo, gagal mewujudkan keadilan, dalam menjatuhkan putusan, dengan tidak berdiri pada altar home of justice dan tidak berdasarkan pada objektifitas fakta hukum yang terungkap dan mengabaikan akomodasi yang layak dalam proses peradilan untuk penyandang disabilitas dalam persidangan. Sehingga, menjadi preseden yang buruk bagi penegakan hukum dan telah menjatuhkan marwah Pengadilan sebagai “Rumah Keadilan bagi kelompok rentan”.
Untuk itu, Kami pembela umum dari Koalisi Pendamping kelompok rentan (KPKR) secara tegas menyatakan sikap sebagai berikut:
- Putusan Majelis Hakim PN Watampone yang tidak berprespektif HAM in casu, Hak Asasi penyandang disabilitas, dengan menyatakan bersalah Kamaruddin Alias Andong dan menghukum 5 bulan penjara;
- Putusan Majelis Hakim PN Kelas I A Watampone, yang tidak mengimplementasikan konsep peradilan inklusi dalam bentuk hak aksesibilitas berupa akomodasi yang layak dalam memeriksa dan mengadili terdakwa sebagai penyandang disabilitas mental, sebagai bentuk hambatan terhadap perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia penyandang disabilitas sebagaimana dijamin oleh UU No.19/2011 Tentang Pengesahan Convention On The Rights of Persons With Disabilities; UU 39/1999 Tentang Hak Asasi Manusia; UU No. 8 /2016 Tentang Penyandang Disabilitas; UU No. 18/2014 Tentang Kesehatan Jiwa; PP No.39/2020 Tentang Akomodasi Yang Layak Untuk Penyandang Disabilitas Dalam Proses Peradilan; dan Permenkes No. 77/2015 Tentang Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Jiwa Untuk Kepentingan Penegakan Hukum.
- Merekomendasikan kepada Mahkamah Agung untuk mengevaluasi Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo, yang melakukan “pembangkangan” dengan tidak menerapkan Keputusan Direktur Jenderal dan Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung No: 1692/DJU/SK/PS.00/12/2020 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Bagi Penyandang Disabilitas di Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri, dalam memeriksa dan mengadili penyandang disabilitas.
Watampone, 20 April 2021
Koalisi Pendamping Kelompok Rentan (KPKR)
Narahubung:
085394505667 (Ismail Aris)
085255553776 (Ridwan)
08114202204 (Firajul)
08114211989 (Ashar)