banner 728x250   banner 728x250  
OPINI  

Gerakan Demagogi Dalam Lingkaran Sosial Politik

ENEWSINDONESIA.COM, MAKASSAR – Dalam kehidupannya, manusia hidup secara berkelompok. Dengan hidup berkelompok, manusia saling ketergantungan satu sama lain dalam pemenuhan kebutuhannya. Adanya kebutuhan untuk saling berinteraksi, berkomunikasi dan bersosialisasi satu sama lain yang tidak bisa dilepaskan dalam lingkungan. Dengan seperti ini, akan ada tanggungjawab sosial rasa saling mengayomi satu sama lain.

Adanya ketergantungan satu sama lain menyebabkan adanya individu atau sekelompok orang menggunakan momen. Sengaja mematikan untuk sementara kemerdekaan dan hak pribadinya demi menyenangkan dan memuaskan orang lain. hal ini dilakukan untuk melancarkan gerakan dan tujuan pribadinya. Gerakan-gerakan seperti inilah yang disebut sebagai gerakan demagogi.

banner 728x250   banner 728x250

Demagogi adalah sebuah istilah dalam politik yang digunakan oleh para politikus untuk melancarkan segala tindakannya. Secara terminologi, demagogi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “demos” yang berarti rakyat, dan “agogos” yang memiliki arti pemimpin dalam konotasi negatif, atau kata lain pemimpin yang menyesatkan untuk melancarkan kepentingan pribadinya.

Sementara, secara etimologi memberikan pengertian bahwa demagogi adalah pemimpin yang melancarkan gerakannya kepada rakyat yang menyesatkan untuk mencapai kepentingan pribadinya. Pemimpin akan melakukan segala tipu muslihat, menebar janji-janji manis untuk menarik simpatik pengikutnya agar dapat memilihnya dengan seakan-akan merasakan keresahan dan harapan pengikutnya.

Meminjam pendapat Haryatmoko, dalam tulisannya “Demagog dan Komunikasi Politik”, mengungkapkan bahwa politikus cenderung demagog, dengan menyesuaikan diri pada situasi yang paling membingungkan dengan menggunakan seribu wajah dalam lingkungan sosial, menggunakan perannya sesuai dengan kondisi dan situasi yang beragam. Gerakan para demagog seringkali dilakukan dalam memanipulasi dinamika kelompok dengan menggunakan senjata hominem (menyerang pribadi orang) untuk melancarkan tindakannya melalui argumen-argumen yang dimilikinya.

Demagog akan menanamkan pemikirannya kepada orang lain atau masyarakat seakan-akan ikut serta merasakan keresahan masyarakat atau pendengarnya. Apa yang menjadi keresahan dan pendapat pengikutnya, itu yang dijadikan senjata dalam mengeluarkan dan menyampaikan argumennya. Bukan atas dasar pemikirannya, melainkan hasil dari pengikutnya.

Dalam hal ini, kaum demagog mengandalkan retorika atau kelenturan wacana dalam melakukan argumentasi. Sehingga dalam komunikasi politik yang dibangun menjadi ambigu. Hal ini dilakukan agar masyarakat dapat menafsirkan bahwa keresahan dan harapannya tersampaikan dan dapat diterima.

Dalam buku “How Democracies Die” karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt juga memberikan gambaran kehadiran kaum demagog baik di luar sistem pemerintahan maupun setelah masuk dalam sistem pemerintahan. Hadirnya kaum demagog sudah ada sejak terbentuknya sistem pemerintahan dalam setiap tahap perkembangan masyarakat. Pada fase Yunani Klasik misalnya, kaum demagog telah menjadi pembahasan para filsuf seperti Socrates, Aristoteles, dan Plato. Menurut para filsuf bahwa kelahiran kaum demagog berasal dari sistem demokrasi. Dimana adanya kebebasan dan ruang bagi setiap orang untuk menyampaikan pendapatnya.

Tingkat destruksi kaum demagog bermula pada fase modern, khususnya sejak awal abad ke-20. Gerakan demagogi dilakukan di luar sistem dan di dalam sistem pemerintahan. Di luar sistem pemerintahan, mereka mengobarkan kebencian-kebencian dengan bermodalkan teori kosong untuk mencari popularitas dan tepuk tangan dari pengikutnya. Sementara, di dalam sistem pemerintahan akan melakukan agitasi untuk memainkan emosi massa, mempertajam perbedaan dengan pelemparan isu soal golongan, ras, suku maupun agama.

Lebih tragisnya lagi, ketika adanya koalisi yang terbangun antara pemerintah dengan kaum demagog yang dapat menjadi faktor utama matinya sebuah demokrasi. Dengan terbuka lebarnya pintu itu, akan semakin mempermudah kaum demagog untuk melakukan gerakan demagogi.

Penekanannya ada pada kualitas kepemimpinan serta pada pilihan-pilihan tindakan kaum elite politik. Jik kaum elite berhasil membangun kerja sama, untuk mengatasi masalah-masalah praktis yang ada, pemerintahan demokratis akan kuat. Namun, ketika mereka terus terbelah untuk hal-hal yang fundamental, ini semakin memudahkan kaum demagog untuk melancarkan serangannya.

Dalam konteks kekinian, gerakan demagogi tidak hanya dilakukan secara langsung di depan khalayak umum. Mereka juga melebur sebagai kaum kliktivisme. Dimana kaum kliktivisme menggunakan media sosial atau digital sebagai sarana untuk menyampaikan segala hal.

Dalam dunia maya, gerakan demagogi kerapkali dilakukan oleh buzzer politik. Mereka melakukan penggiringan opini untuk menjatuhkan seseorang. Mengemas narasi yang dapat berterima di pengguna media sosial agar kepentingan pribadi dapat tercapai.

Kaum demagog lihai membuat skematisasi dengan menyederhanakan gagasan atau pemikiran agar bisa memiliki efektivitas sosial sehingga menjadi sebuah opini dan keyakinan. Gerakan demagogi inilah yang kemudian memunculkan wacana kebencian terhadap pihak-pihak tertentu.

Namun, dalam konteks ini yang menjadi inti masalah adalah bagaimana menekan gerakan-gerakan kaum demagog agar tidak terus berkembang. Peran dari pemerintah, institusi pendidikan, kaum intelektual, aktivis, mahasiswa, organisasi pendidikan dan sosial serta elemen lain untuk terlibat dalam memberikan pendidikan dan pemahaman kepada masyarakat agar tidak cepat tergiring dari isu-isu kaum demagog.

Perlu adanya sosialisasi dan diskusi yang dilakukan di ruang-ruang publik. Dalam institusi pendidikan, memberikan pemahaman kepada mahasiswa sebagai kaum intelektual. Hal ini dapat tercapai dengan sinergitas yang terbangun diantara semua elemen.

banner 728x250    banner 728x250
Editor: Andi Akbar

Tinggalkan Balasan

error: waiittt