Oleh: Andi Riswandi (Menteri Advokasi BEM Universitas Muhammadiyah Makassar)
Satu Oktober, diperingati sebagai hari kesaktian Pancasila yang jauh sebelum itu ketika kita merefleksi sejarah, peristiwa pemberontakan G30/S/PKI, yang hendak menggulingkan presiden Soekarno atas salah satu dasar perbedaan ideologi yang kemudian pada akhirnya gerakan itu berhasil di tumpas oleh Kekuatan Negara.
Selaras dengan Itu, Mulai dari Orde lama, Orde Baru dan Reformasi hingga September dengan segenap kekacauan beserta dukanya, Masih terus terjadi dengan rupa yang berbeda, konstruk torehan tinta catatan yang kontra terhadap kehendak rakyat sebagai Negara Demokrasi, Mulai dari eksploitasi kekuasaan, Problem kebijakan, Agama, Konflik Agraria, hingga Kasus-Kasus yang mereduksi Nilai Dan Norma Hak Asasi Manusia.
Eksistensi (Pancasila ) menyatukan kemajemukan yang ada tanpa memandang sektarian warna, suku, bahasa dan ras. Pancasila dan Tengah Arus Globalisasi (menurut Yudi Latif), dengan arus globalisasi yang makin luas cakupannya, dalam penetrasinya, dan instan kecepatannya, setiap negara bukan saja menghadapi potensi ledakan pluralitas dari dalam, melainkan juga tekanan keragaman dari luar. Memasuki awal milenium baru terjadi berbagai perubahan yang cepat, dinamis, dan mendasar dalam tata pergaulan dan kehidupan antarbangsa dan masyarakat.
”Globalisasi”, tulis Anthony Giddens (1990), adalah intersifikasi relasi-relasi sosial dunia yang menghubungkan lokalitas yang berjauhan sedemikian rupa sehingga peristiwa-peristiwa lokal dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi di seberang jauh dan begitupun sebaliknya.
Globalisasi merestukturisasi cara hidup umat manusia secara mendalam, nyaris pada setiap aspek kehidupan. Berhembus dari Barat, dengan muatan pengaruh politik dan ekonomi Amerika Serikat yang kuat, globalisasi pada akhirnya menerpa semua bagian dunia, tak terkecuali Amerika Serikat sendiri, meskipun dengan konsekuensi yang tak merata.
Pada ranah negara-bangsa (nation-state) di satu sisi, globalisasi menarik (pull away) sebagian dari kedaulatan negara-bangsa dan komunitas lokal, tunduk pada arus global interdependence, yang membuat negara-bangsa dirasa terlalu kecil untuk bisa mengatasi (secara sendirian) tantangan-tantangan global. Dalam situasi kesalingtergantungan, tidak ada negara yang bisa mengisolasi dirinya. Kelemahan suatu elemen negara terhadap penetrasi kekuatan global ini bisa melumpuhkan dirinya. Bahkan negara adikuasa seperti Uni Soviet menjadi korban globalisasi yang didorong temuan-temuan teknologinya sendiri.(Yudi Latif)
Bagi Indonesia sendiri, globalisasi modern membawa politik nasional ke pusaran glombang demokratisasi ketiga di dunia, yang menurut Hungtington bermula pada 1974 dan menerpa Indonesia melalui gerakan reformasi pada akhir 1990-an. Gelombang demokratisasi ini melanda Indonesia ketika otoritas negara mendapatkan tekanan yang serius dari penetrasi kekuatan-kekutan global, yang setelah perang dingin berakhir, terutama datang dari kekuatan “fundamentalisme pasar” dan “fundamentalisme agama”.
Di sisi lain, globalisasi juga menekan (push down) negara-bangsa, yang mendorong ledakan ke arah desentralisasi dan otonomisasi. Negara-bangsa menjadi dirasa terlalu besar untuk menyelesaikan renik-renik masalah di tingkal lokal, yang menyulut merebaknya etno-nasionalisme dan tuntutan otonomi lokal beriringan dengan revivalisme identitas-indentitas kedaerahan. Bagi Indonesia sendiri, tekanan globalisasi yang bertaut dengan demokratisasi ini mendorong otonomisasi daerah dan pemekaran wilayah disertai kecenderungan “revivalisme etno-religius”.
Globalisasi juga menjadi kendaraan emas bagi para pendukung pasar bebas untuk mendorong liberalisasi perdagangan dan investasi dalam skala mondial. Kecenderungan ini mengakibatkan pasar menjadi berkembang begitu bebas tanpa ada satu kekuatan pun yang dapat memastikan apa yang akan terjadi, yang akan mempengaruhi kemandirian perekonomian nasional. Pasar bebas dunia pada gilirannya melemahkan kemampuan negara-bangsa dan sistem-sistem kesejahteraan untuk melindungi jalan hidupnya (Hobsbawm, 2007: 4).
Halangan dalam promosi HAM muncul sejak tahun ’80-an dari hegemoni ideologi neo-liberalisme yang menyerang pondasi dasar pada sistem hak asasi manusia yang telah dibangun: kombinasi hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Dengan perluasan pasar tanpa kepedulian sosial, globalisasi pasar meningkatkan ketaksetaraan di dalam negara, dan jurang pemisah yang makin lebar antara negara maju dan berkembang.
Singkat kata, intensifikasi globalisasi modern menuntut setiap bangsa untuk lebih memiliki wawasan internasionalisme dalam rangka ikut melaksanakan ketertiban dunia yang menjamin kemerdekaan, perdamaian dan keadilan dalam pergaulan antarbangsa. Hal ini menuntut perubahan paradigmatik dalam hubungan internasional dari prinsip ‘zero-sum-game’ menuju prinsip “win-win-solution”. Hal itu bisa ditempuh, antara lain, dengan cara memperluas praktik demokrasi melampaui batas-batas teritorial negara-bangsa, melalui penguatan daya-daya permusyawaratan, restrukturisasi dalam lembaga-lembaga multilateral, serta partisipasi warga bangsa dalam persoalan kemanusiaan universal.
Akhirnya ada perkembangan yang bersifat paradoks. Di satu sisi, globalisasi mengurangi otoritas negara-bangsa.(Yudi Latif).
Simpulan
Momentum Kesaktian Pancasila adalah cita kemajuan seraya meningkatkan jiwa nasionalisme, pemaknaan dan penerapan Nilai-nilai Pancasila dalam berbangsa dan bernegara bukan seremonial eksistensi yang termaktub dalam pamflet ucapan semata.