Oleh : H.Habsi Wahid
“Jika kuperas yang lima ini menjadi Satu”
Melawan lupa, ketika diminta merumuskan dasar Negara dalam pidatonya dihadapan Badan Penyelidik Usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, Bungkarno menawarkan Pancasila yang berintikan lima asas, namun Bapak Proklamator Republik Indonesia juga mengurai jika nilai-nilai Pancasila itu di krucutkan kedalam tiga sila atau bahkan satu sila tunggal maka akan ditemukan satu inti atau Core of the core, kata Bungkarno “ jika kuperas yang lima ini menjadi satu ”maka dapatlah aku satu perkataan yang tulen yaitu gotong royong, kata yang digambarkan sebagai kerja bersama, banting tulang bersama, dan amal semua buat kepentingan semua, itulah intinya inti kata Bungkarno. Jika ditransformasi kemomentum saat ini, maka semangat gotong royong tentu tidak akan kedaluwarsa dan masih menjadi cikal-bakal lahirnya persatuan dan kesatuan.
Namun demikian hegemoni kehidupan sosial yang semakin meningkat memunculkan sebuah pertanyaan, apakah gotong royong juga dapat dilakukan untuk mendorong keinginan bersama segelintir orang yang dapat saja mengorbankan kepentingan orang yang lebih banyak ? Jawabannya tentu tidak, karena semangat gotong royong lahir dari embrio positif yang tentu bertujuan untuk meraih kemaslahatan secara universal, sehingga bekerjasama yang dampaknya dapat merugikan orang lain tentu bukanlah gotong royong, bahkan dalam kajian agama tolong- menolong harusnya dapat dilakukan dalam hal kebaikan.
Menarik benang merahnya pada dinamika sosial politik yang begitu dinamis pasca perhelatan pesta demokrasi pemilihan umum, saat ini bermunculan ajakan untuk bersama-sama melakukan aksi menolak hasil pesta demokrasi dengan gerakan bertajuk “ People Power ”, dari perspektif mereka yang ingin menyuarakan hal ini, tentu menilai upaya tersebut adalah sesuatu yang positif dan harus diperjuangkan, namun dari kacamata yang lebih luas aksi ini sangat berpotensi merugikan orang banyak disebabkan dampak yang akan ditimbulkan, sebut saja dari aspek keamanan dan ketertiban, tentu aksi ini dapat mempengaruhi rasa aman dan kenyamanan orang lain.
Euphoria politik harusnya dapat menjadi momentum suka cita yang pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada penyelenggara meski tetap dilakukan pengawasan melalui mekanisme yang telah ditentukan, pesta demokrasi baiknya bukan justru mengabadikan perbedaan yang terjadi saat suksesi dijalankan namun menjadi pemanis ditengah kerasnya perjuangan menarik simpati masyarakat.
Bertepatan hari kebangkitan Nasional yang jatuh pada tanggal 20 mei 2019 ini merupakan momentum yang sangat tepat untuk kembali merajuk asa, menyatukan kembali segala perbedaan dan gesekan yang ditimbulkan dari dinamika sosial politik yang terjadi, terlebih lagi bulan ini adalah bulan ramadhan, bulan yang penuh ampunan dan magfirah sehingga waktu ini adalah waktu yang sangat mustajab untuk benar-benar bangkit untuk bersatu. (*/MR)