Oleh: Ikbal Tehuayo
Mau kaya? Masuk saja ke dunia politik, di sana ada kesempatan mencuri dengan cara yang legal, artinya haram tapi boleh.
Politik yang dimaknai sebagai seni pengabdian menciptakan Bonum Commun (kesejahteraan umum) kini dilacur zinahi oleh otak politisi yang tandus ilmu, gersang akhlak plus gila popularitas.
Ditambah dengan demokrasi yang memperbolehkan orang dungu berkompetisi merebut kursi parlemen, lengkaplah sudah virus pembusuk yang siap menghancurkan tubuh politik kita.
Ketawa haha hihi, sim sala bim jadilah undang-undang, seperti sulap saja. Tidak pakai diskusi, cukup tunggu rakyat tidur, paginya sudah ada undang-undang, begitulah cara buat aturan oleh politisi kita, tidak tunggu lama.
Apalagi partai politik kini tampak tidak peduli dengan kriteria seperti apa yang harus ada pada figur yang mereka restui untuk berkompetisi pada pileg mendatang, asalkan banyak uang dan modal popularitas sudah cukup untuk membuat parpol meminangnya.
Kecerdasan intelektual dan integritas figur tidak menjadi syarat utama.
Dapat kita mengerti, bahwa partai politik merupakan salah satu biang keladi pembusukan wajah politik negeri ini, padahal seharusnya parpol memeberikan edukasi politik agar masyarakat menjadi dewasa dalam partisipasi politik.
Salah satu akibat dari busuknya praktek politik adalah membentuk mental masyarakat yang senang disogok oleh penyogok saat tiba musim pemilu untuk memenangkan oknum tertentu yang dahaga kekuasaan.
Bahkan tak sedikit masyarakat yang menyambut baik praktek sogok atau yang lebih dikenal dengan serangan fajar.
Dalam ajaran Gereja Katolik menempatkan politik sebagai jalan kesalehan dan kekudusan, artinya politik merupakan lahan suci yang harus dikelolah dengan cara-cara yang suci pula, ia tak boleh dikelolah oleh tangan-tangan yang tamak dan haus kekuasaan yang bersifat kebinatangan.
Di dalam Islam pun politik mendapat kedudukan dan tempat yang hukumnya bisa menjadi wajib.
Para ulama kita terdahulu telah memaparkan nilai dan keutamaan politik. Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa dunia merupakan ladang akhirat.
Agama tidak akan menjadi sempurna kecuali dengan dunia. memperjuangkan nilai kebaikan agama itu takkan efektif kalau tidak punya kekuasaan politik.
Memperjuangkan agama adalah saudara kembar dari memperjuangkan kekuasaan politik.
Berbicara politik artinya berbicara kemanusiaan, banyak urusan manusia diatur melalui jalur ini, mulai dari pendidikan, kesehatan, perdagangan, bahkan aturan-aturan beragama pun diatur meleui politik, maka yang seharusnya mengatur politik adalah mereka yang telah memastikan dirinya benar-benar manusia, karena hanya manusialah yang bisa memahami kemanusiaan.
K.H. Abdurrahman Wahid pernah mengungkapkan, bahwa yang terpenting dari politik adalah kemanusiaan. Sifat kebinatangan dan ketamakan seharusnya tidak diberi tempat untuk hidup dan subur di atas lahan politik bangsa ini.
Wajah buruk politik kita bukan baru-baru ini terjadi, ia merupakan warisan alami yang turun-temurun tanpa bisa daintisipasi.
Salah satunya adalah kasus buloggate dan Bruneigate yang dituduhkan pada Gus Dur, meski Jaksa Agung dan Kepolisian sudah menyatakan Gus Dur tidak ada kaitannya dengan kasus tersebut, sehingga secara hukum sudah selesai dan tidak terbukti bersalah.
Tapi kekuatan politik berwajah kebencian punya jalan sendiri untuk mejatuhkan Gus Dur dari kekuasaannya meski telah nyata ia tidak terbukti salah.
Praktek politik yang bobrok juga berefek pada demokrasi kita.
Pemandangan yang tidak asing dan terjadi berulang kali saat datangnya musim pemilu adalah masyarakat hanya diantarkan sampai ke kotak suara untuk memberikan suaranya, setelah itu hubungan antara pemilih dan terpilih sebagai wakil rakyat terputus.
“siapa yang terpilih, sama saja,” kalimat ini sering terdengar dari bibir masyarakat, artinya masyarakat telah pasrah setelah memberikan suaranya, sebab harapan yang mereka gantungkan selama ini pada wakilnya di perlemen tak kunjung datang.
Menyaksikan hidangan politik yang penuh noda ini, penulis teringat salah satu karya ditulis oleh Paul Coelho yang berjudul “The Alchemist.”
Melalui buku ini ia menceritakan kisah seorang bocah pengembala bernama Santiago dengan domba-dombanya melewati ladang, sungai hingga musim yang berbeda, lalu sejenak Santiago berpikir bahwa domba-dombanya tidak menyadari kalau ia telah makan dan minum dari ladang dan sungai yang berbeda pada musim berbeda pula, sebab dikepalanya hanya rumput dan air untuk ia makan dan minum.
Serupa dengan kondisi politik kita. Para politisi yang telah menduduki kursi parlemen dan diamantakan untuk mendistribusikan keadilan, kini hanya sibuk mengurus keuntungan pribadi dan keluarganya, apa sebab? Sebab di dalam kepalanya hanya merampok uang rakyat, sehingga persoalan kesejahteraan rakyat tidak menjadi hal yang harus ia pikirkan.
Jalaludin Rahmat melalui rekayasa sosialnya mengungkapkan bahwa perubahan tidak akan mengarah kepada kebenaran bila kesalahan berpikir masih menjebak pikiran kita.
Pernyataan ini merupakan pondasi awal yang seharusnya menjadi pegagangan untuk menyetir praktek politik, sebab pikiranlah yang akan melahirkan bagaimana seharusny kita bertindak.
Iklim politik yang terhidang saban hari di bumi pertiwi ini secara gampang dapat dipahami bahwa ada yang salah dalam pikiran mereka yang diberi kewenangan untuk mengelola sistem politik kita.
Kewenagan mengatur hajat hidup orang banyak adalah amanah, ia tak boleh dizinahi oleh pikiran kejahiliaan dan keserakahan, sebab satu kebijakan yang lahir dari pikiran salah mempunyai efek buruk hingga ke dalam rahim seorang ibu yang tengah mengandung anaknya.
Demi menciptakan generasi yang tumbuh subur dengan praktke politik yang bermartabat, sudah sepatutnya bergerak dan bergandengan dengan ketulusan niat memperbaiki bangsa dan negara, agar kelak sebelum menutup usia dapat kita saksikan bangsa ini menjadi kiblat peradaban dunia.