Ramadhan Di Musim Wabah

Photo : Ikbal Tehuayo

Enewsindonesia.com, Oleh : Ikbal Tehuayo

Tak seperti hari kemarin. Kini, senyum dicemari duka. Di kolong langit cekung nan biru ini, telah terlihat gerbang apunan perlahan terbuka, tapi, kita menyambutnya dengan senyum yang tak bening seperti kemarin.





Langkah kaki terasa kaku, semagat tak bersahabat di dalam jiwa, wajah berseri tampak layu. Layu karena iklim dihantui wabah.

Jiwa-jiwa berguguran di telan wabah, cepat melambung tinggi bagaikan apollo 11 menuju bulan. Jalanan sepi, sunyi menghiasi sudut-sudut kota yang terlihat membisu.

Di tengah pedih, sedih, dan resah mengusai istana jiwa, hari menuntun kita pelan-pelan menuju bulan penuh ampunan, bulan di mana buku pedoman hidup ( Alquran ) di turunkan ke bumi.

Syaitan dan bala tentaranya kini menanggung tangis. Tangisan sesal karena terbelenggu.

Syaitan tak bebas di bulan suci, tapi, tidak buat corona. Corona tak peduli siapa kita, atu kita siapa. Bagi corona, tubuh siapa yang ku singgahi, akan ku sikat habis tanpa permisi.

Menyikapi bandelnya corona, penghuni istana hingga ormas-ormas Islam sodorkan keputusan untuk menyambut bulan suci tetap di rumah.

Pada siapa harus ditanyakan, mengapa jadi begini. Kemana harus mencari momen kebahagiaan seperti tahun kemarin, tarawih, witir dan ceramah dinikmati langsung secara bersama.

Begitu banyak keluhan di bibir publik. Ada jarak membentang menghalau silaturahim di bulan suci.
Impian-impian berjamaah pun meleleh di dalam harapan.

Mimbar-mimbar dan panggung ceramah di bulan suci hanya membisu dan seakan menagis, menagis karna sepi akan pengunjung.

Mungkinkah kemarin kita sibuk untuk mudik dan tak serius ibadah, ataukah ramadhan kemarin tak berefek pada 11 bulan setelahnya, atau ramadhan kemarin terlalu ramai di pasar hingga masjid menjadi sunyi? Lalu Tuhan benar-benar membuatnya sunyi di tahun ini? Entahlah.

Sungguh menyedihkan, ramadhan dipertemukan dengan wabah yang menggelisahkan. Terbayang dalam memori pikirian, menyambut berbuka puasa tak bisa bersama dengan berbagai saudara muslim, karena di rumah adalah cara untuk menyayangi mereka.

Kerinduan anak rantau untuk pulang di bulan suci seakan terkubur dengan korban-korban akibat corona.

Melapas rindu di bulan suci dengan sanak saudara hanya terhubung di dunia maya. Terhalang oleh jarak, terbatas dengan pulsa.

Udara publik membisikan kecemasan tiada henti. Statistik angka kematian terus menerus menghantui. Publik gelisah lalu menjadi takut.

Bila saja masjid-masjid itu bisa dideteksi batinnya, mungkin dia sedang menangis, sebab di bulan penuh rahmat orang-orang tak lagi datang bertamu.

Wabah di bulan suci bukanlah komedi tapi tragedi, ini peristiwa yang mematikan, bukan peristawa yang memalukan. Korban berjatuhan bagai daun dimusim gugur. Tak salah dibilang pahlawan bagi mereka ( tenaga medis ) yang gugur demi menyelamatkan banyak manusia.

Mereka yang selamat kini kembali mendapatkan peluk hangat dari sanak saudara. Bagi yang gugur terpapar corona tak lagi menikmati ramadhan di musim wabah.

Ramadhan berduka, atu pilu di bulan suci, mungkin itulah nama yang bisa kita tempelkan pada detik-detik menjelang bulan puasa. Iman seakan menjadi bahan mainan virus corona.

Atas nama cinta pada saudara-saudari sesama muslim, kami ucapkan selamat menyambut bulan suci ramdhan. (Kambel/HW)

     

Tinggalkan Balasan