ENews, Makassar •• Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Muhammadiyah (BEM Unimsuh) Makassar menyoroti Biro Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (Pemprov Sulsel) terkait program beasiswa.
“Sebagai mahasiswa dari kampus Muhammadiyah yang menjunjung nilai amar ma’ruf nahi munkar, kami terpanggil untuk bersuara atas ketimpangan yang sedang berlangsung dalam tubuh birokrasi Pemprov Sulsel, khususnya BiroKesra yang pada akhir 2024 mengumumkan program beasiswa bagi mahasiswa dengan janji pencairan pada Maret 2025,” kata Ketua BEM Unismuh Makassar, Muh Hasby melalui keterangan tertulisnya yang diterima redaksi ENews Indonesia, Rabu (2/6/2025).
Lebih lanjut Hasby menyampaikan, saat ini sudah memasuki pertengahan tahun 2025, namun tidak ada kabar, tidak ada kejelasan, dan tidak ada pertanggungjawaban yang layak dari pihak pemerintah.
Menurutnya, janji yang seharusnya menjadi jembatan harapan justru berubah menjadi bayang-bayang ketidakpastian yang melemahkan semangat belajar dan merusak kepercayaan terhadap negara.
Hasby menjelaskan, dalam konstitusi yang termaktub dalam UUD 1945 Pasal 31, negara diwajibkan untuk menjamin hak setiap warga negara atas pendidikan, dan dalam konteks itu, kebijakan beasiswa bukanlah bentuk kebaikan hati pemerintah, melainkan bagian dari kewajiban struktural dalam menjamin akses keadilan pendidikan.
“Maka ketika janji itu tidak ditunaikan, yang dilukai bukan hanya rasa percaya, melainkan hak warga negara. Tak sedikit mahasiswa yang telah menyusun ulang rencana studi mereka, menggantungkan harapan pada bantuan tersebut, bahkan mempertaruhkan keberlanjutan kuliah demi satu keyakinan bahwa negara akan hadir ketika rakyatnya membutuhkan,” tegasnya.
“Adakah sebenarnya kehendak politis untuk benar-benar memihak pada nasib mahasiswa? Atau ini hanyalah narasi simbolik yang sengaja digulirkan demi menjaga citra pemerintahan di hadapan rakyat?” Tanyanya.
Kejanggalan ini kata Hasby, tampak ketika pemerintah dengan mudah memproduksi wacana namun gagal memastikan bahwa wacana itu ditopang oleh kerja nyata dan sistem yang berfungsi.
“Maka kami melihat bahwa yang sedang berlangsung bukan sekadar keterlambatan administratif, tetapi sebuah bentuk dominasi naratif yang membungkam suara mahasiswa melalui janji-janji kosong yang dikemas manis namun hampa dari keberpihakan sejati,” imbuhnya.
Pemprop Sulsel, dalam hal ini biro Kesra menurut Hasby telah menempatkan mahasiswa sebagai objek dari narasi kebijakan yang tidak pernah benar-benar dimintai pertimbangan atau dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, menciptakan relasi kuasa yang timpang di mana negara memonopoli informasi sementara rakyat hanya menunggu dalam ketidakjelasan.
“Kami yang hidup dalam denyut kampus Muhammadiyah memahami bahwa kebijakan harus bisa dibaca tidak hanya dari apa yang dikatakan, tapi juga dari apa yang disembunyikan, dari diamnya pemerintah, dari tidak dibukanya data anggaran, dari absennya penjelasan publik. Semua itu bukan sekadar masalah birokrasi, melainkan bentuk kelalaian struktural yang menjadikan rakyat, khususnya mahasiswa, sebagai korban dari tata kelola yang tidak demokratis,” paparnya.
Hasby menegaskan bahwa pihaknya menuntut transparansi penuh atas anggaran beasiswa tersebut, termasuk laporan ke mana dan kepada siapa dana itu disalurkan, dan mengapa hingga hari ini tidak ada penjelasan resmi dari lembaga yang seharusnya menjadi pelayan publik.
“Kami tidak menuntut lebih dari yang seharusnya, kami hanya meminta agar negara tidak menyia-nyiakan harapan generasi muda yang sedang berjuang membangun masa depan. Dalam tradisi ijtihad dan tabligh yang kami pegang teguh sebagai mahasiswa Persyarikatan, kami menyampaikan bahwa setiap kebijakan publik harus berpihak pada kemanusiaan dan keadilan sosial, bukan pada citra dan elektabilitas,” ujarnya.
“Maka jika beasiswa ini hanya dijadikan komoditas politik tanpa substansi sosial, kami dengan tegas menyatakan: mahasiswa Muhammadiyah tidak akan diam, karena diam adalah pengkhianatan terhadap ilmu, nurani, dan amanah perubahan,” pungkasnya.
(Red)