ENEWS, MAKASSAR •• Di sebuah rumah sederhana di Makassar, setiap malam Tanty Rudjianto tidur dalam sunyi yang panjang. Ada satu ruang kosong yang tak pernah benar-benar sepi: kamar kecil dengan dinding bergambar kartun, pakaian lipatan mungil, dan mainan yang tertata seperti sedang menunggu pemiliknya pulang.
Sudah lebih dari dua puluh bulan, anak itu belum kembali.
Kasus ini bermula dari hal yang tampak sederhana. Tanty adalah seorang ibu tunggal yang bekerja keras untuk merawat anaknya seorang diri. Di tengah keterbatasan, ia percaya pada seseorang yang ia anggap sebagai atasan dan orang yang ia kenal.
“Dipinjam dua hari saja,” kata orang itu. “Kami belum punya anak. Kami hanya ingin bermain dengan dia.”
Tanty mengizinkan. Ia percaya. Ia tidak pernah membayangkan bahwa keputusan itu akan menjadi titik awal perjalanan panjang penuh penantian yang menyakitkan.
Pada hari ketiga, ia meminta anaknya kembali. Tapi jawaban itu berubah menjadi permintaan tambahan waktu. Seminggu. Lalu beberapa hari lagi. Lalu menjadi cerita yang lebih rumit dari yang bisa ia bayangkan.
Di tengah penantian, Tanty mendengar kabar bahwa akta kelahiran anaknya sedang dibuat. Ia pikir itu baik: sebagian orang tua tunggal memang menunda mengurus akta karena prosesnya tak mudah.
Namun saat akta itu selesai, ia terdiam. Nama orang tua yang tertera bukan dirinya. Bukan ibu yang melahirkan. Bukan ibu yang mendampingi sejak tahun-tahun pertama. Yang tertulis adalah nama orang lain: Rusdianto dan istrinya. Bahkan agama anak itu pun telah berubah.
Sejak itu, anaknya tak kembali.
Tanty melapor ke polisi. Ia berharap hukum memberi jalan pulang bagi anaknya.
Namun waktu berjalan. Sebulan. Setahun. Dua tahun hampir berlalu. Surat perkembangan penyidikan baru diterima setelah lebih dari satu tahun laporan dibuat. Perkara dipindahkan unit. Pasal yang awalnya menggunakan perlindungan anak bergeser ke tindak pidana umum. Gelar perkara dilakukan berulang, tapi status perkara tak berubah.
Di tengah proses yang stagnan, hari-hari Tanty terasa seperti garis lurus panjang tanpa akhir.
“Dia masih memanggil saya Ibu. Suaranya masih saya ingat,” kata Tanty pelan, Jumat 7 November 2025.
Kuasa hukum Tanty, Qanita AB, S.H., menyebut seharusnya undang-undang perlindungan anak menjadi dasar utama perkara ini. Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi Makassar sebelumnya telah menolak gugatan terlapor dalam ranah perdata. Itu berarti, kata Qanita, posisi Tanty sebagai ibu biologis tidak pernah berubah dalam hukum.
“Yang dia minta bukan kemenangan,” ujar Qanita. “Yang dia minta hanya anaknya kembali.”
Di sisi lain, Task Force PBH Peradi Makassar mempertanyakan lambatnya penanganan perkara dan perubahan arah penyidikan yang dinilai tidak berpihak pada korban.
Kini, setelah hampir dua tahun, tidak ada yang lebih kuat dari doa yang terus ia bisikkan setiap malam.
Doa agar anaknya pulang.
Doa agar pintu hukum benar-benar terbuka.
Doa agar ibu dan anak itu bisa kembali saling menyentuh tangan.
Karena pada akhirnya, perkara ini bukan sekadar soal berkas dan pasal.
Ini tentang seorang anak yang hilang dari pelukan ibunya.
Dan seorang ibu yang belum berhenti menunggu.
Jurnalis: Angki Perdana






