ENews, Makassar •• Sekretaris Bidang Riset dan Teknologi Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPD IMM), Rusliadi menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap arah kebijakan pendidikan tinggi Indonesia yang semakin menjauh dari amanat konstitusi, khususnya Pasal 31 UUD 1945.
Ia memaparkan, dalam UUD tersebut, kebijakan pendidikan menegaskan bahwa negara bertanggung jawab atas sistem pendidikan nasional yang menjamin pemerataan dan keadilan.
Menurutnya, di tengah euforia otonomi dan jargon “transformasi”, negara melahirkan makhluk raksasa bernama Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) yang bukan hanya diberi keleluasaan mengelola dirinya secara finansial, tetapi juga diberi kebebasan nyaris absolut dalam merekrut mahasiswa, membuka program studi, dan memasarkan citranya tanpa batas.
PTNBH hari ini adalah simbol ketimpangan yang disahkan negara. Kampus negeri ini menyedot dana negara lewat APBN, menggunakan fasilitas negara, mengangkat dosen dengan gaji PNS, dan tetap dapat menarik mahasiswa jalur mandiri dengan tarif mencekik.
Ironisnya kata dia, dengan segala privilese itu, mereka turut bermain di ranah komersial, bersaing langsung dengan kampus swasta yang dibangun dengan keringat umat dan masyarakat sipil tanpa sokongan negara.
Dikatakannya, ini bukan sekadar liberalisasi pendidikan, ini bentuk kanibalisme sistemik yang didesain negara, di mana institusi besar menggerogoti institusi kecil atas nama “efisiensi” dan “demand pasar”.
“Padahal, baik PTN maupun PTS, keduanya sama-sama mengemban amanah konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tidak ada dikotomi misi antara keduanya—yang membedakan hanyalah perlakuan negara,” tuturnya, Selasa 1 Juli 2025.
Lebih lanjut ia menyampaikan, kampus negeri diguyur anggaran, diproteksi regulasi, dan disokong sumber daya.
“Sementara kampus swasta dibiarkan hidup sendiri, dipaksa bersaing dalam sistem yang timpang, tanpa payung keadilan yang memadai. Apakah mencerdaskan anak bangsa hanya boleh dimonopoli oleh institusi yang berbendera negara?” Tanyanya.
Lebih menyedihkan kata Rusliadi, kondisi ini dibungkus dengan jargon-jargon manis seperti “Kampus Merdeka” dan “Kampus Berdampak.”
“Alih-alih menjadi ruang emansipasi intelektual, konsep Kampus Merdeka sebelumnya justru dimanfaatkan untuk memperluas pasar, membuka kolaborasi yang tak seimbang dengan industri, dan menjadikan mahasiswa sebagai buruh magang murah,” paparnya.
“Di sisi lain, pemerintah menggantinya dengan slogsn Kampus Berdampak. Semoga saja program tersebut bisa menjangkau wilayah 3T dan memperkuat peran tinggi lokal,” sambungnya.
Menurutnya, program yang seharusnya memerdekakan mahasiswa dan memanusiakan pendidikan kini berubah menjadi alat ekspansi dan komersialisasi yang membunuh institusi lain.
“Ini adalah ironi besar, kampus yang digerakkan oleh dana publik, justru menghancurkan inisiatif swasta yang lahir dari gotong-royong masyarakat,” ujarnya.
Meski begitu, ia menyampaikan apresiasi kepada pemerintah, khususnya Kemendikbudristek, atas komitmen memberikan beasiswa seperti KIP Kuliah, LPDP, dan bantuan UKT yang telah membantu banyak mahasiswa dari keluarga tidak mampu mengakses pendidikan tinggi.
“Kami juga menghargai adanya Beasiswa PDDI dan penyederhanaan proses Sertifikasi Dosen (Serdos) melalui peraturan baru yang lebih ramah terhadap dosen muda dan dosen di PTS, yang selama ini kesulitan menembus syarat administratif yang kaku. Ini adalah langkah maju yang harus dilanjutkan dan diperluas,” tukasnya.
Tetapi kata dia, kebaikan ini tidak boleh menutupi cacat besar dalam desain kebijakan pendidikan tinggi yang membiarkan PTNBH menjelma menjadi raksasa yang tak terkendali.
“Kami menyerukan kepada Kemendikbudristek untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan PTNBH dan program turunan seperti Kampus Merdeka dan Kampus Berdampak. Jangan biarkan slogan dijadikan kamuflase atas ekspansi kapitalistik pendidikan tinggi. Negara harus hadir sebagai wasit, bukan pemain yang ikut berlaga dan menyingkirkan yang lemah,” tegasnya.
Kemendikbudristek harus segera mengambil langkah korektif, antara lain;
– Menetapkan kuota nasional maksimal bagi jalur mandiri PTNBH agar tidak menjadi ruang komersialisasi liar;
– Menyusun regulasi zonasi rekrutmen, melarang PTNBH membuka prodi di wilayah yang telah memiliki kampus swasta;
– Melakukan evaluasi kritis terhadap pelaksanaan Kampus Merdeka untuk menjadi bahan Pijakan dalan program Kampus Berdampak agar tidak sekadar menjadi legitimasi bagi magang eksploitasi dan relasi timpang dengan industri;
– Memberikan insentif khusus dan dana afirmasi kepada kampus swasta, terutama yang aktif dalam pembangunan daerah dan pembentukan karakter kebangsaan;
Rusliadi menegaskan, sebagai aktivis IMM dan bagian dari dunia akademik, pihaknya menolak tunduk pada sistem pendidikan tinggi yang kapitalistik, elitis, dan menjauh dari ruh Pancasila.
“Kami menolak sistem yang mematikan kampus perjuangan, kampus dakwah, dan kampus umat hanya demi memperbesar gurita PTNBH. Kami IMM Sulsel menyerukan perlawanan intelektual dan moral terhadap sistem pendidikan tinggi yang telah dikuasai oleh logika pasar dan kepentingan elite,” tegasnya.
Ditambahkannya, pendidikan bukan komoditas. Kampus bukan pasar. Mahasiswa bukan objek eksploitasi.
“PTN dan PTS adalah dua kaki bangsa dalam mencerdaskan kehidupan rakyat. Jangan lumpuhkan salah satunya,” tandasnya.
(A. Akbar)