TORAJA, ENEWSINDONESIA.COM – Proyek Pembangunan PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) Malea berada di Kabupaten Tana Toraja, tepatnya di Kecamatan Makale Selatan dan Rano Utara. PLTA Malae dibangun oleh PT. Malea Energy, salah satu unit bisnis Kalla Grup. Awalnya kapasitas energi pada PLTA Malea direncakan sebesar 2×45 MW. Namun, belakangan rencana tersebut berubah menjadi 2×90 MW (180MW) dan sekarang menjadi 2×45 MW dan 3×75 MW. Inkonsistensi pada perencanaan ini menunjukan bahwa sejak awal pembangunan ini tidak direncanakan secara matang dan baik.
Dalam proses pembangunannya, PT. Malea energi berpegang pada izin lingkungan yang terbit di tahun 2009. Dalam dokumen lingkungan hidup (AMDAL) yang menjadi dasar penerbitan izin lingkungan tersebut, pembangunan PLTA Malea Energi seharusnya dilakukan dengan cara saluran terbuka (open channel ). Namun, faktanya PT. Malea Energi justru membuat terowongan sepanjangan kurang lebih 11 Km yang berada di bawah perkampungan masyarakat Lembang Patekke, Buntu Sisong, Puru, dan Randan Batu.
Pembangunan terowongan ini tidak pernah dibahas dan dikaji dalam dokumen lingkungan hidup proyek. Dengan demikian, PT. Malea tidak taat pada dokumen yang dibuatnya sendiri, melanggar izin lingkungan dan tidak hormat pada peraturan perundangan terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Perusahaan juga terkesan tidak menghormati masyarakat sekitar proyek karena tidak membuat konsultasi publik yang bermakna saat pembuatan dokumen lingkungan hidup. Lebih penting daripada itu, perusahaan justru mengabaikan keselamatan masyarakat dan lingkungan hidup dengan membangun terowongan sepanjang 11 km tanpa didahului oleh kajian dampak maupun analisa risiko.
Serangkaian persoalan dalam pembangunan PLTA Malea, seringkali menimbulkan protes keras dari masyarakat sekitar. Di tahun 2019 dan 2020 masyarakat sekitar lokasi proyek melakukan beberapa kali aksi. Aksi tersebut dilakukan atas berbagai persoalan yang disebabkan oleh proses pembangunan yang tidak ramah lingkungan, menghilangkan situs adat Toraja, dan mengabaikan keselamatan warga, maupun pekerja.
‘Stempel’ sebagai perusahaan tidak taat terhadap aturan semakin terang sebab di bulan Juli tahun 2018, pemerintah provinsi menemukan fakta bahwa selama proses pembangunan, perusahaan tidak memiliki izin penampungan sementara limbah bahan beracun dan berbahaya (LB3). Perusahaan baru mengajukan izin penampungan LB3 di bulan Agustus 2020, di saat progres pembangunan telah hampir selesai. Padahal ada banyak material LB3 dihasilkan selama proses tersebut.
Dalam sepekan terakhir, rangkaian proses pembangunan yang abai terhadap lingkungan, keselamatan warga, dan terkesan dilakukan semau-maunya kembali menimbulkan keresahan dan mengancam keselamatan masyarakat. Saat ini, perusahaan sedang memasuki tahap uji coba pada terowongan. Sejak itupula masyarakat di Lembang Patekke, Buntu Sisong, dan Randan Batu sering merasakan getaran tanah yang diikuti suara gemuruh serupa gempa bumi ‘skala lembang’ yang hanya dirasakan oleh masyarakat di atas terowongan milik PT Malea Energi. Masyarakat menduga kuat, kejadian ini erat kaitannya dengan proses uji coba yang dilakukan oleh perusahaan. Catatan sementara, dampak dari kejadian ini mengakibatkan tiga rumah warga rusak. Selain itu, terjadi tanah longsor yang menurut warga aneh, sebab terjadi di saat cuaca sedang cerah.
Masyarakat sangat khawatir dengan keselamatan mereka. Apalagi kejadiaan ini sering terjadi di malam hari sehingga membuat masyarakat tidak dapat istirahat dengan tenang. Akibat dari kejadian ini, beberapa warga mengambil inisiatif untuk melapor ke para pihak, termasuk pihak perusahaan.
PT. Malea Energi yang notabene melakukan pembangunan berdampak penting di daerah tersebut, saat ini juga masih kebingungan dan baru mencari penyebab kejadian ini. Hal ini tentu saja wajar, sebab sejak awal pembangunan terowongan ini tidak didahului dengan analisa dampak maupun kajian risiko yang seharusnya dimuat dalam dokumen lingkungan hidup.
Pembuatan terowongan yang tidak sesuai dengan Dokumen perencanaan awal dan tidak dimuat dalam dokumen lingkungan hidup (AMDAL) baru disadari pemerintah di tahun 2019. Bukannya diberikan sanksi keras, sebaliknya perusahaan justru mendapat pengampunan dari Negara melalui Pemprov. Sulawesi Selatan yang hanya memberikan sanksi Administrasi Paksaan membuat Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH) di tahun 2019. Keputusan lingkungan atas DELH kemudian baru diterbitkan oleh Gubernur Sulawesi Selatan di bulan Juli 2020.
Atas uraian di atas yang menunjukan dengan terang bahwa proses pembangunan PLTA Malea tidak dilakukan secara hati-hati, mengabaikan keselamatan warga dan perlindungan linkungan hidup. Kami menuntut dan mendesak:
- PT. Malae Energi segera menghentikan seluruh rangkain aktivitas yang mengancam keselamatan masyarakat.
- Pemprov. Sulawesi Selatan dan Pemkab. Tana Toraja untuk memastikan keselamatan dan memberikan rasa aman bagi masyarakat terdampak getaran tanah di Lembang Patteke, Buntu Sisong, dan Randan Batu.
- Pemprov. Sulawesi Selatan dan Pemkab. Tana Toraja untuk segera membuat tim terpadu untuk menyelediki kejadian tersebut.
- Pemerintah Daerah, Provinsi dan Pemerintah Pusat untuk segera mengevaluasi secara menyeluruh pembangunan PLTA Malea Energi dan segera mencabut segala perizinan PT. Malea Energi.
Narahubung:
- Genbhi – Warga ( +62 812-4248-7064)
- Taufik – aktifis FORMAT ( 085298683546 )
Andi Akbar