Keresahan Pemuda Pemulung Sampah di Hari Sumpah Pemuda

Founder Gubuk Plastik Indonesia

By: Qadry Paolai

ENEWSINDONESIA.COM, MAJENE — Sudah 92 tahun sumpah itu diucapkan, tepat pada 20 Oktober 1928, ikrar tekat itupun diucapkan: Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia; kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu bangsa Indonesia; kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia. Suatu ikrar putusan kongres pemuda-pemuda Indonesia, atau yang saat ini dikenal sebagai Sumpah Pemuda.



Bukan sekadar ikrar biasa, atau putusan kongres yang bersifat seremoni biasa. Putusan pemuda ini dikemukakan melalui proses perdebatan yang panjang selama tiga hari lamanya. Perdebatan epistemik, ideologis, kebudayaan, sosiologis, politik dan nasionalisme.

Dari perdebatan itu, bukan sekadar menawarkan secarik tulisan, melainkan selaksa gagasan. Gagasan-gagasan itu diperdebatkan, dipertengkarkan ke dalam isi kepala dan sanubari jiwa juang kaum bumi putera.

Dengan prinsip, idealisme dan pikiran besar yang mereka punya, bukan hanya ikrar identitas, tapi juga sekaligus deklarasi berdirinya bangsa Indonesia. Benar kita merdeka tahun 1945, namun itu hanyalah pembacaan demi pembacaan proklamasi berdirinya sebuah negara republik. Sebab sebagai sebuah bangsa kita telah lama ada.

Bukan hanya itu, dari peristiwa ke peristiwa heroik yang pernah ada. Yang menjejaki lanskap nasionalisme. Mulai dari peristiwa sumpah pemuda, proklamasi kemerdekaan, hingga peristiwa reformasi 1998. Bukanlah sekedar peristiwa politik, tetapi merupakan sebuah peristiwa pertengkaran pikiran, argumen dan ideologi.

Lalu realitas hari bagaimana? Ikrar kecintaan kita yang mengaku mencintai tanah air Indonesia, apakah sudah kita buktikan?

Hari ini bumi pertiwi kita diselimuti oleh banyaknya persoalan lingkungan termasuk sampah yang berserakan dimana-mana, bahkan berdasarkan data yang dipaparkan The Economist Intelligence Unit tahun 2017, Indonesia menyandang gelar penyumbang sampah terbesar kedua di dunia. Dimana bila dirata-ratakan, setiap individu menyumbang 300 kg sampah, termasuk didalamnya para pemuda.

Terus kita bisa apa? Kesadaran dan kepedulian kita seakan menutup mata melihat bumi pertiwi yang sedang sekarat. Banyaknya bencana alam seakan tak cukup membuat kita untuk menyadari akan ulah tangan-tangan kita.

Demikianlah beberapa masalah komplit yang hinggap di tubuh generasi kita. Ada intelektual tapi tidak peduli, ada yang peduli tapi tidak intelek. Ada juga yang tidak peduli sekaligus tidak intelek. Kita memerlukan orang intelek dan sekaligus punya kepedulian tinggi. Inilah yang disebut manusia yang bermanfaat. Yang tidak hanya bersumpah tetapi juga menepatinya.

Jadii apapun masalahnya, jangan berhenti membaca. Kurangi komentar dan perbanyak mendengar. Jangan diam teruslah bergerak. Karena di era sulit ini, jangankan diam, bergerakpun sulit. Bicaralah dengan gagasan bukan dengan cacian, sampaikan argumen dengan rasional bukan dengan emosional. Salam Lestari dari pemuda Sulawesi Barat.

banner 728x250

banner 728x250

     

Tinggalkan Balasan