OLEH: IKBAL TEHUAYO
“De Omnibus Dubitandum” itulah kalimat yang perna diucapkan filsuf kondang Perancis, Rene Descartes, yang berarti segala sesuatu harus diragukan. Ia mendorong kita untuk selalu menghidupkan nalar kritis, berangkat dari keragu-raguan agar kita tidak mudah menerima sesuatu begitu saja sebelum ia diuji kebenarannya.
Buah pikiran Descartes kita pegang sebagai metode berpikir untuk menguji realita di negeri ini, salah satu realita yang tampak sebagai santapan publik yang tak luput dari perbincangan warga mutakhir ini adalah kegiatan vaksinasi yang dilakukan pemerintah.
Upaya untuk mencapai 70 persen dari populasi penduduk untuk vaksin dosis pertama, pemerintah melibatkan seluruh sektor untuk bergerak cepat, baik dari polri, TNI maupun Guru dan Dosen. Target ini diharapkan akan tercapai pada akhir Desember 2021.
Untuk mendukung pencapaian pemerintah, tak sedikit tenaga kesehatan langsung terjun ke rumah-rumah warga untuk melakukan vaksinasi. Tak hanya di siang hari, vaksinasi juga dilakukan bahkan di malam hari, peristiwa ini terjadi di Soppeng sesuai arahan Bupati Kaswadi Razak ( pojoksulsel.com)
Mendatangi rumah warga untuk melakukan vaksinasi merupakan gambaran dari tidak semuanya masyarakat ingin divaksin. Hal itu terbukti dengan adanya sejumlah warga Aceh Barat Daya (Abdya) yang membubarkan kegiatan vaksinasi Covid-19 di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Ujong Serangga, Kecamatan Susoh. Mereka melakukan aksi demo penolakan untuk ikut vaksinasi.
Ratusan masyarakat dan nelayan yang berada di TPI Ujong Serangga bahkan nekat mengobrak-abrik meja petugas dan lokasi vaksinasi yang berada di dalam lingkungan TPI.
Penolakan vaksinasi adalah hak asasi manusia, hal ini tercantum dalam undang-undang republik Indonesia nomor 36 tahun 2009, Bab 3 tentang hak dan kewajiban, pasal 5 ayat 3 yang menyatakan bahwa, setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.
Coba kita uji dengan cara yang masuk akal. Vaksin merupakan upaya untuk meningkatkan kekebalan tubuh, sementara yang harus divaksin 70 persen, itu artinya pemerintah menafsirkan 70 persen penduduk tidak mempunyai kekebalan tubuh, sebab itulah mereka harus divaksin, padahal dari 70 persen populasi penduduk belum tentu semuanya mengalami kekebalan tubuh yang buruk.
Terlihat bahwa pemerintah membuat tafsirnya sendiri dan ingin memaksa semua kalangan untuk menerima tafsirnya. Prilaku ini sangat berbahaya, sebab berpegang pada satu tafsir akan berdampak pada penolakan tafsir yang lain, disitulah bibit kejahatan dilahirkan.
Pemaksaan vaksin terhadap masyarakat seakan tidak terbaca, sebab ia hadir dengan cara yang dapat dijelaskan dengan argumen yang rasional, yakni mereka yang tidak divaksin tak bisa mendapatkan layanan publik dan bantuan sosial. Secara tidak langsung, kebijakan tersebut inkonstitusi, sebab bertolak belakang dengan Undang-undang Republik Indonesia nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan.
Realita semacam ini kita patut waspada, sebab keterangan ahli kesehatan akan dijadikan alat untuk membela kebijakan. Suda seharusnya kita pahami bersama, bahwa dalam hal semacam ini penjelasan ilmiah dari pihak kesehatan pun harus diragukan, sebab tenaga kesehatan juga punya catatan sejarah yang buruk hanya karena ingin penuhi hasrat penguasa.
Sejarah telah mengkonfirmasikan kepada kita, Pada tanggal 21 Juni 1988, Senat Amerika Serikat menggelar sidang dengar pendapat mengenai minyak tropis. Dalam sidang tersebut, ahli-ahli kesehatan yang mewakili kepentingan industri
minyak goreng Amerika Serikat memberikan kesaksian tentang bahanya minyak goreng tropis. Hal ini dilakukan agar matinya pruduk minyak kelapa Nusantara dan minyak produknya menjadi laris di pasaran dunia.
Selain itu, tenaga kesehatan perna membohongi dunia dengan data-data ilmia yang menunjukan bahwa Ras area adalah ras terbaik di kolong langit ini, hal ini dilakukan semata untuk mendukung nafsu serakahnya Hitler.
Dari catatan sejarah tersebut bukan berarti kita membenci tenaga kesehatan dan menyatakan ia tak dapat dipercaya sepenuhnya, tapi sebagai upaya untuk berhati-hati dan tidak mudah percaya kepada keterangan pihak kesehatan sebelum kebenarannya diuji.
Untuk melihat kehidupan secara bebas kita harus berani berpikir mandiri, begitulah harapan Socrates bagi mereka yang ingin melihat persoalan yang berhamburan disekelilingnya dengan jelas, sehingga ia tak muda terjebak pada keterangan-keterangan palsu yang berwajah kebenaran.