Oleh: Dr. Ilham Kadir, MA., Praktisi Pendidikan; Pimpinan BAZNAS Enrekang
ENEWSINDONESIA.COM – Sekitar abad 750 sebelum Masehi, bangsa Sparta menaklukkan negeri Amyklai yang berpenduduk 250 ribu jiwa. Padahal Sparta hanya berjumlah sembilan ribu keluarga. Keadaan demikian membuat bangsa Sparta untuk selau siap berperang, sebab penduduk negeri yang dikuasai itu selau ingin memberontak. Dalam situasi seperti itu maka tujuan pendidikan bagi Sparta adalah proses untuk menjadi orang yang siap terpakai di dalam negari lewat program wajib militer sepanjang hayat.
Konstitusi Sparta mengeluarkan undang-undang Lycurgus yang berisi tentang pasal-pasal pendidikan yang bertujuan mencetak warga negara yang sanggup mempertahankan negaranya. Pendidikan berarti latihan untuk menjadi orang siap pakai oleh negara, maka sifat-sifat keperwiraan, ksatria, kepahlawanan, keberanian, kekuatan, ketangkasan, kepatuhan terhadap disiplin sangat disanjung, dipuji dan mendapat tempat tertinggi.
Anak-anak bangsa Sparta bukan milik orangtuanya, tetapi menjadi milik negara secara otomatis. Bayi yang baru lahir akan diserahkan kepada tetua yang memimpin sebuah kampung untuk dididik jika ia bayi sehat tanpa cacat. Jika bayi itu lemah dan punya cacat maka bayi tersebut akan dibawa ke Taygeto, sebuah batu bertebing, di sana bayi naas itu dilempar masuk jurang.
Fase pendidikan bangsa Sparta dimulai dari umur 7-20 tahun akan dimasukkan di asrama militer, 18-20 tahun diajari cara berperang secara istimewa dan akan menjadi pasukan elite, 20-30 tahun akan dipastikan sebagai tentara negara secara resmi. Setelah itu baru diakui sebagai warga negara. Pendidikan ini hanya untuk laki-laki. Sedangkan perempuan diserahkan kepada ibunya, sang ibu yang berkewajiban mengajari putrinya membaca, menghitung, mebersihkan rumah, memasak, melayani tamu dan mencuci. Bagi keluarga berada, ia akan mengajari putrinya dengan keterampilan seperti menjahit, berdagang, dan beragam keterampilan lainnya. Laki-laki Sparta memang hanya punya satu tugas, siap berperang.
Bangsa Ionia yang juga dari Yunani (Athena) merupakan antitesa dari Sparta. Mereka terbuka untuk belajar dan menimba ilmu dari bangsa-bangsa lain yang sudah lebih maju. Mereka belajar ilmu bintang (astrologi) dan abjad dari Babilonia, cara membuat kapal dan seni rupa dari Mesir, dan seterusnya, kekuatan Atena berada di puncak ketika bersatu dengan Sparta menaklukkan Persia.
Pendidikan bagi bangsa Yunani sangat menekankan pengayaan kebudayaan. Mereka menyerap sebanyak-banyaknya budaya asing untuk disesuaikan dengan kebudayaan lokal sehingga melahirkan negara yang kaya akan budaya. Pendidikan adalah seni dan budaya. Dari sini muncul ilmuan-ilmuan yang kaya wawasan. Bahkan sejak 840 sebelum Masehi, pujangga dari Yunani tidak pernah sepi, mulai dari Herodotos, Homeros, Ilias, Adysos hingga Aesipos. Pendidikan Yunani yang disetting secara tradisional pada akhirnya melahirkan tokoh-tokoh filsafat yang berjasa hingga saat ini, sebut saja, Socrates (469-399, s.M), Plato, (427-347, s.M), Aristoteles, (384-323, s.M).
Anak-anak Yunani, khususnya abad kelima Masehi, jika sudah berumur tujuh tahun akan dididik oleh orang tuanya, dari kecil mereka telah dibiasakan dengan hidup bebas dan kebiasaan-kebiasaan yang baik. Umur tujuh tahun, anak-anak lelaki dan perempuan sudah harus dipisakhan tempat tidurnya, bagi anak perempuan akan tinggal di rumah mempelajari masalah-masalah rumah tangga, sedang anak-anak lelaki akan pergi berguru ke beberapa guru dan materi yang berbeda antara para guru.
Anak laki-laki juga akan diantar oleh seorang pengasuh dan atau penjaga ke sekolahnya. Pengiring itu namanya paidagogos yang umumnya merupakan seorang budak atau hamba sahaya yang tidak kuat bekerja keras, tapi punya perangai yang baik. Ia membawakan buku yang terdiri dari gulungan dari kertas papyrus, alat musik, perlengkapan olahraga, dan bekal lainnya yang diperlukan tuannya di tempat olahraga yang disebut ‘Palaistra’ semacam arena olahraga dan gymnastic. Paidagogos kadang menunggu tuannya setelah mengantar sampai kembali dari sekolah, biasa juga cukup antar-jemput.
Tugas pokok dan kewajiban paidagogos ditulis dalam undang-undang Solon, di antara klausulnya berbunyi: Paidagogos harus memperhatikan kelakukan anak-anak, kebiasaannya, makanannya, pakaiannya, jalannya, dan sikap anak-anak itu. Dalam menemani ‘tuannya yang kecil itu’, ia selalu berkata, ‘Ini jangan dilakukan… itu salah… itu baik… itu boleh diperbuat… itu tidak boleh…’ dan seterusnya. Jika perlu ia boleh memukul ‘tuannya’ itu. Dan dari tugas paidagogos menjaga dan mendidik anak majikannya sehingga sangat mulia walau itu dilakukan oleh para budak. Kelak dari kata ‘paidagogos’ kita kenal dewasa ini dengan istilah ‘pedagogik’ sebuah disiplin ilmu yang mempelajari masalah membimbing anak ke arah tujuan tertentu supaya mampu mandiri untuk menyelesaikan masalah dalam hidupnya atau mengembangkan kepribadiannya sebagai salah satu tugas besar guru selain menyampaikan dan mentransformasikan pengetahuan dalam pembelajaran. Seorang guru harus punya kemampuan mendidik dan membimbing anak sebagaimana orang tua, atau bahkan lebih.
Juga dapat dipahami bahwa ilmu pedagogik adalah segala usaha yang dilakukan oleh pendidik untuk membimbing peserta didik yang lebih muda untuk memaksimalkan potensi diri baik secara kognitif atau kemampuan nalar dan ilmu pengetahuan, maupun dari sisi karakter agar menjadi pribadi yang lebih baik. Usaha tersebut termasuk pengelolaan pembelajaran, bahasa atau cara menyampaikan materi supaya mudah dipahami dan diserap oleh peserta didik, serta penguasaan kelas yang baik.
Lalu bagaimana dengan pendidikan di Indonesia. Pada prinsipnya nilai pendidikan yang ingin dicapai bangsa kita sesungguhnya telah tertuang dalam Pancasila yang merupakan konstitusi tertinggi. Inti dari tujuan pendidikan kita dalah mencetak generasi yang berketuhanan (bertauhid), adil, beradab, bersatu, cerdas dan sejahtera. Menurut UU No. 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 2 menyebutkan, “Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.”
Tantangan ke depan jauh lebih berat, karena itu segenap komponen mulai dari orangtua, guru, sekolah, negara, masyarakat harus bertanggungjawab mendidik anak yang akan hidup pada zamannya. Dan pendidikan akan sukses jika semua unsur terus belajar dan memiliki ilmu mendidik serta paham materi yang pas dan cocok untuk diajarkan kepada anak-anak, jangan memaksakan pelajaran yang tidak sesuai dengan bebannya, jangan pula membiarkan mereka bebas tanpa arah. Bimbing mereka ke jalan yang benar, sebagaimana telah digariskan dalam Pancasila yang bernafaskan agama dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan hadis Nabi. Wallahu A’alm!
Telah dimuat sebelumnya di Tribun Timur (17/9/2021)