Aku Ternyata Positif

Aku Ternyata Positif

Oleh Yulianty Nurzabil

banner 728x250

 


 

Hari ini begitu melelahkan, badanku terasa remuk. Mungkin aku masuk angin. Sejak ada pengumuman dari pondok bahwa santri diliburkan, aku sibuk membenahi barang-barangku. Memilah mana yang akan kubawa dan akan kutinggalkan di pondok ini.

Sebenarnya aku juga tak ingin pulang, aku masih ingin disini. Melancarkan hafalan Qur’anku yang baru saja khatam. Tapi pondok akan segera ditutup, jadi aku harus pulang. Tak mungkin aku disini sendiri, tanpa teman.

Aku juga terkadang sibuk membantu teman-temanku yang mudik terlebih dahulu. Aku sering membantu membawakan barang teman-temanku. Tak lupa kusapa orangtua mereka saat bertemu. Ah jadi rindu bunda dan ayah setiap melihat orang tua santri datang.

Sayangnya orang tuaku tidak bisa datang menjemputku karena rumahku sangatlah jauh. Tak bisa dijangkau dengan mobil. Aku harus terbang dengan pesawat beberapa jam lalu lanjut lagi menggunakan mobil selama 7-8 jam.

Kalau dibayangkan mungkin akan sangat melelahkan. Tapi itulah indahnya sekolah jauh dari orang tua. Aku diajarkan mandiri. Aku bisa merasakan berbagai pengalaman di kampung orang, dan juga pengalaman mudik yang penuh suka dan duka.

Aku adalah seorang gadis belia yang baru berusia 15 tahun. Aku berasal dari pelosok daerah di Sulawesi Barat. Bukan hal mudah bagiku merantau seorang diri. Ini semua kulakukan agar aku bisa mengangkat derajat orang tuaku.

Kelak aku ingin memahkotai mereka dengan mahkota yang terbuat dari cahaya, sesuai dengan janji Tuhanku bahwa anak yang mampu menghafal Al-Quran dapat memberikan hadiah terindah bagi kedua orangtua dan juga keluarganya.

Hari-hariku kuhabiskan untuk menghafal kitab suci, keinginanku tak muluk-muluk. Aku hanya ingin bisa menjadi hafidzah secepatnya. Seperti dengan namaku, Hafidzah.

Besok aku harus pulang ke daerahku. Ada rasa rindu namun rasa takut juga menghantui. Aku harus pulang ditengah wabah mematikan ini, corona. Aku berharap jika virus itu menjauh dariku. Aku ingin segera memeluk bunda dan ayahku. Sudah lama rasanya aku tidak bermanja-manja dengan mereka.

Aku harus segera tidur karena besok aku pulang. Badanku mulai terasa hangat. Mungkin aku terlalu lelah karena kesibukan ini. Akhirnya aku menaiki tangga kecil untuk menuju kasurku. Aku tidur di ranjang bagian atas. Ranjang kami bertingkat, mungkin tujuannya agar dapat menghemat pemakaian ruangan.

Kuambil selimut, tak lupa kubaca doa sebelum tidur. Kutatap langit-langit kamarku membayangkan wajah kedua orang tuaku yang akan kutemui besok. Bahagia rasanya bisa pulang. Kucoba menutup netraku perlahan meski rasanya sulit.

Tak terasa adzan subuh berkumandang. Untunglah semalam aku bisa tertidur pulas meski awalnya sulit memejamkan mata. Kulangkahkan kakiku menuju kamar mandi, kubasuh mukaku lalu kuambil air wudhu.

Mukenah corak bunga segera kugunakan, aku tak ingin telat ke masjid untuk shalat berjamaah. Dinginnya udara tak menghalangiku melangkahkan kaki menuju rumah Allah. Biasanya aku dan kawan-kawanku berceloteh dengan riang sepanjang perjalanan ke masjid.

Tapi kali ini berbeda. Sungguh sepi, sunyi dan dingin. Hanya tinggal beberapa santri lagi yang ada disini. Termasuk aku. Hanya suara jangkrik yang terus bersorak menemani langkahku ke masjid. Kugelar sajadahku, kulakukan shalat tahiyatul masjid. Sebelum iqomah tiba, kusempatkan membuka Qur’anku. Kuulangi semua hafalanku agar tak hilang.

Baru beberapa menit murajaah, terdengar iqomah dari speaker yang ada di atasku. Kami semua berdiri merapatkan shaf sebelum shalat. Usai shalat tak lupa kupanjatkan doa untuk kedua orang tuaku, untuk keluargaku, untuk diriku dan saudara-saudara muslim yang sedang kesusahan serta agar wabah yang meresahkan ini segera berakhir.

Kupakai sandal jepitku yang tersusun rapi di luar masjid. Kulangkahkan kakiku sambil mengayunkan sajadah ke depan dan belakang. Yey, hari ini aku pulang. Senyum tersungging di bibirku yang mungil. Ingin rasanya aku loncat karena kegirangan. Namun aku tak melakukannya karena takut malu dilihat oleh santri lain dan pembina yang ada.

Sesampainya di kamar, kubuka mukenahku. Rasanya badanku masih sedikit hangat. Mungkin aku harus minum obat. Segera kucek lemariku, kucari box kecil tempat penyimpanan persediaan obatku. Akhirnya aku minum penurun panas sekaligus penghilang rasa sakit. Kepalaku mulai terasa nyut-nyut. Tenggorokanpun terasa agak gatal. Mungkin aku pilek.

Kucoba untuk tidur lagi karena tak tahan dengan sakit kepala. Kupasang alarm agar aku bisa bangun sekitar pukul 07.00. aku masih ingin memastikan lagi barang bawaanku jangan sampai ada yang ketinggalan.

“Bundaaaaa, bundaaaa, Hafidzah ada disini”, kulambaikan tanganku pada wanita paling cantik yang ada di dunia.

Aku pun berlari menghampirinya, lalu memeluknya dengan erat. Rasanya begitu hangat dan nyaman. Tak ingin kulepas pelukan itu.

Kriiiiiiing….kriiiiiing….kriiiiiiiing.

Alarm berbunyi, ternyata tadi hanya mimpi. Akupun tersenyum mengingat mimpiku, mungkin rindu pada bunda sudah terlampau berat dan kebahagiaan untuk bertemu dengannya begitu besar. Jadinya terbawa sampai mimpi.

Kuberanjak dari kasur, sambil mengambil ancang-ancang untuk menuruni tangga secara perlahan. Kulangkahkan kakiku perlahan menuruni tiap anak tangga. Tanganku menggenggam erat tiang yang ada di samping ranjang. Aku takut terjatuh, apalagi kondisiku kurang stabil.

Pernah suatu hari aku terjatuh saat menuruni tangga. Rasanya sakit, tapi rasa maluku lebih besar. Betapa tidak, saat itu ada banyak teman yang berkumpul di kamar. Mereka sedang asyik bercerita, namun karena tiba-tiba aku jatuh. Semua menjadi diam, ada yang tertawa dan ada yang menolongku.

Kutarik resleting koperku secara perlahan, ada bunyi derit kecil saat kulakukan itu. Mungkin itu gesekan yang terjadi karena sudah kaku, lama tidak digunakan. Kucek barangku satu per satu. Nampaknya sudah tidak ada yang tertinggal.

Kusimpan identitas pelajar dan tiketku pada tas bagian depan untuk memudahkan saat melakukan check in di bandara. Ternyata ada 2 lembar uang berwarna merah di kantong tasku. Tiba-tiba aku berinisiatif untuk membeli sedikit buat tangan untuk kedua orang tuaku. Tapi aku tak tahu harus beli apa dan dimana. Sebab aku belum bisa keluar dengan bebas dari pondok. Mungkin aku harus beli di bandara saja, meski harganya sedikit lebih mahal.

Tak sabar menunggu, beberapa jam lagi aku akan berangkat menuju bandara. Aku mandi agar badanku bisa lebih segar. Kukenakan baju kesukaanku yang berwarna pink dan rok corak bunga yang senada bajuku, jilbabku berwarna putih tulang.

Aku menunggu di bibir ranjang bagian bawah. Ranjang itu kosong karena temanku telah pulang terlebih dahulu. Sudah beberapa kali aku memperhatikan jam, berharap pembina pondok akan segera memanggilku untuk segera berangkat ke bandara. Senyuman tak pernah lepas dari bibirku. Ya, aku akan pulang. Sebentar lagi.

Kudengar langkah kaki perlahan menuju kamarku. Aku berharap itu pembina yang akan memanggilku. Ternyata memang benar, itu pembina yang akan mengantarkanku menuju bandara.

Segera kukenakan ranselku, tak lupa kuambil kaos kaki lalu menggunakannya. Koperpun aku geret perlahan. Barang bawaanku tak begitu banyak. Koperku juga kecil. Mungkin jika ditimbang beratnya tak akan sampai 15 kg. Tak lupa kukenakan masker dan kusimpan handsanitizer di kantong rokku.

Bunda telah berpesan padaku agar berhati-hati di jalan saat pulang dari pondok. Bunda bilang harus selalu menggunakan masker, cuci tangan dengan sabun setelah memegang benda apapun. Dan menggunakan handsanitizer jika tak ada air. Kupatuhi semua kata-kata bunda.

Kubuka pintu mobil, aku duduk di bagian tengah. Tak lupa aku salim pada pembina-pembinaku dan mengucapkan kata-kata perpisahan karena akan meninggalkan pondok untuk sementara waktu. Akhirnya mobilpun berangkat, melewati gunung dan sawah. Pesantrenku terletak agak jauh dari kota.

Sesekali ketika jendela mobil dibuka, kusilangkan tanganku diatasnya dan kujadikan penopang daguku. Mataku sibuk menjelajahi setiap sudut jalan yang kulewati. Banyak bangunan tinggi dan megah, namun semua begitu sepi. Mungkin karena wabah semua jadi tutup, pikirku.

Akhirnya aku melihat tanda berwarna hijau yang bertuliskan bandara sudah tak jauh lagi. Langit mulai berubah warna menjadi jingga. Waktu senja telah tiba. Saat kutatap langit, kulihat ada sekelompok burung yang terbang bebas. Aku berhayal bagaimana rasanya jika bisa terbang bebas seperti burung.

Mobil mulai memasuki area bandara dan mulai berjalan dengan pelan. Aku behenti di area pemberangkatan. Sebelum memasuki bandara aku berterima kasih kepada supir dan pembina yang mengantarku. Tak lupa aku menelpon bunda untuk memberi kabar bahwa aku sudah di bandara.

Terlihat antrian yang mengular menuju pintu masuk bandara, aku berdiri di sela-sela antrian itu. Di tv dan berita yang kulihat di sosial media, seharusnya ada jarak jika ada keramaian. Agar saling menjaga dari virus yang kemungkinan ikut. Entahlah, aku hanya anak kecil. Jadi aku ikut saja dengan antrian yang ada.

Giliranku memberikan identitas sebelum masuk ke bandara. Kuperlihatakan tiket dan juga identitas pelajarku. Sebelum masuk ke bandara suhu tubuhku dicek, saat itu suhu tubuhku normal. Aku bergegas lagi mencari lokasi check in maskapai penerbanganku.

Lagi-lagi aku antri. aku menunjukkan kartu pelajarku dan tiketku pada petugas check in. tak lama kemudian, petugas memberiku kertas boarding. Tak lupa kuserahkan koperku untuk ditimbang dan dibagasikan. Setelah itu aku melakukan boarding dan menuju ruang tunggu. Hampir saja aku lupa untuk membeli oleh-oleh untuk orang tuaku.

Sebelum mencari sempat duduk, aku berjalan menyusuri toko yang ada di dekat ruang tunggu. Kupilih kueyang rasanya enak yang sekiranya sesuai dengan budgetku.

“Mba bungkusin ini ya satu”, kutunjuk brownies kukus berwarna coklat.

“Ini juga ya”, jariku mengarah pada brownies kering rasa strowberry.

Kuserahkan uang pada kasirnya dan kuterima 2 bungkus kue yang tadi kupesan. Bahagia rasanya bisa membawa buah tangan walau tak seberapa untuk kedua orang tuaku. Aku tau bahwa apa yang kulakukan ini tak sebanding dengan pengorbanan mereka terhadapku.

“Penumpang dengan tujuan kota Makassar diharap segera memasuki pesawat melalui gate 3”, terdengar suara dari speaker. Itu panggilan untuk naik ke pesawat.

Aku belum sempat duduk di ruang tunggu namun pesawat sudah mau lepas landas. Untung saja ustadzahku membantuku melakukan check in online agar tidak usah terburu-buru ke bandara.

Kulangkahkan kaki menuju pesawat. kutapaki tiap anak tangga secara perlahan. Akhirnya aku akan pulang dan berjumpa dengan ayah dan bunda. Kucek tiketku untuk memastikan kursiku di sebelah mana. Aku duduk di bagian depan. Jadi tak perlu lama-lama berdiri di lorong pesawat untuk sekedar antri berjalan menuju kursi.

Penerbangan berlangsung selama beberapa jam. Kubuka Qur’anku untuk murajaah hafalan. Aku tak ingin menyia-nyiakan waktu senggangku. Pesawat ini terasa begitu dingin bagiku, kulihat ada uap sepreti asap yang keluar dari celah di balik kabin.

Kuhentikan murajaahku lalu kurogoh tasku untuk mencari jaket yang sudah kusiapkan. Kututupi tubuhku dengan jaket, aku menggigil kedinginan. Mungkin karena flu, aku seperti meriang. Akhirnya akupun tertidur. Tak terasa pramugari mengumumkan sebentar lagi pesawat akan mendarat di kota Makassar.

Kukencangkan sabuk pengamanku. Kedua tanganku memegang erat penopang tangan yang ada di kursi. Pesawat menukik perlahan diiringi suara bising dan seperti ada goncangan. Tiap kali proses ini biasanya aku sedikit takut karena guncangannya sedikit hebat.

Alhamdulillah akhirnya pesawat mendarat dengan mulus.
Pesawat mulai berjalan perlahan, lampu yang tadinya redup kembali dinyalakan. Aku tetap duduk dengan tenang hingga pesawat berhenti sempurna. Tak lupa kunyalakan ponselku untuk segera menghubungi bunda yang mungkin sudah menungguku di bandara.

Para penumpang mulai beranjak dari kursinya masing-masing, berdiri di lorong pesawat untuk membuka kabin dan mengambil barangnya. Aku masih terdiam di kursiku, aku tak punya barang yang kutitipkan di kabin.
Kuambil gawai yang ada di saku rokku. Kucari kontak bunda lalu ku pencet ikon berwarna hijau unuk menelpon bunda agar aku bisa mengabarkan bahwa pesawat sudah tiba. Aku tiba dini hari di bandara.

“Assalamualaikum bunda, adek udah mendarat. Ini baru mau turun dari pesawat”, tukasku pada bunda.

“Alhamdulillah nak, nanti bunda tunggu di pintu keluar ya” jawab bunda.

“Baik bunda, adek turun dulu ya. Wassalamualaikum” ucapku lirih.

Segera kulangkahkan kakiku menuju pengambilan barang bagasi. Kucari monitor yang bertuliskan pesawat yang kugunakan. Tak jauh dari tempatku berdiri ternyata disinilah tempat pengambilan barangku.

Tak berselang lama kemudian, kulihat koperku yang berwarna hitam metalik. Kuambil dengan kedua tanganku. Lalu kutuntun menuju pintu keluar. Di dekat pintu keluar ada petugas yang mengecek tiket dan barang bawaan untuk memastikan tak ada yang salah mengambil barang atau hal yang tidak diinginkan lainnya.

Dan ada salah seorang petugas bandara yang melakukan pengecekan suhu menggunakan alat yang mirip dengan pistol. Ternyata suhu tubuhku naik lagi. Akhirnya aku ditahan untuk sementara. Akupun menelpon bunda dan menjelaskan bahwa aku ditahan sementara karena suhu tubuhku di atas ambang normal.

Aku dibawa ke ruangan khusus, beberapa waktu kemudian kulihat bunda datang menghampiriku. Petugas menjelaskan kepada bunda bahwa aku harus dirawat di rumah sakit khusus penanganan corona untuk dilakukan cek terlebih dahulu dan penangan terhadap demamku yang tinggi. Bundapun menyetujui hal itu.

Aku diantar menggunakan ambulance menuju rumah sakit. Bunda duduk di sampingku, terus menggenggam tangan kecilku. Bunda tak pernah melepaskannya sedetikpun. Kuperhatikan raut wajahnya yang cemas. Tentu ia cemas, takut terjadi apa-apa kepadaku.

Sesampainya dirumah sakit, aku dikepung dengan orang yang berpakaian seba putih layaknya astronot. Ada sedikit rasa takut, namun aku pasrah. Aku yakin Allah selalu menjagaku. Tak lama kemudian aku memasuki sebuah ruangan untuk melakukan pemeriksaan lengkap.
Darahku diambil. Sudah lama aku tidak disuntik. Aku agak takut dengan benda kecil tajam itu. Kupejamkan mataku saat jarum menembus kulitku. Terasa sedikit perih, namun kucoba bersikap tegar. Bekas jarum yang ada di lenganku kemudia ditutup menggunakan plester berwarna putih.

Petugas yang lain datang lalu menyuruhku untuk membuka mulut lebar-lebar. Kuturuti perintah petugas itu. Dimasukkannya alat kecil persis menyerupai cotton bud, agak geli rasanya saat alat itu mencapai tenggorokanku. Ternyata itu namanya pemeriksaan swab, aku menguping dari salah seorang petugas.

Setelah semua pemeriksaan selesai, aku dipindahkan ke ruangan yang ada ranjangnya untuk dilakukan perawatan terkait dengan demamku. Aku diberi obat dan diinfus. Bunda terus menyemangatiku dan menyuruhku untuk tidur. Oya, ada ayah dan omku juga yang ikut mengantarkanku ke rumah sakit.

Akhirnya kuistirahatkan tubuhku, tak kuat lagi rasanya menahan lelah dan kantuk ini. akupun tertidur lelap. Bunda terus memegangi tanganku. Saat aku bangun, ada perawat yang datang lalu mengecek suhu tubuhku. Akhirnya normal kembali. Tak lama kemudian dokter datang memberitahu hasil cek darahku, katanya sih normal.

Bunda berbicara pada dokter dan meminta untuk membawaku pulang. Mungkin selanjutnya aku ada dirawat didaerah saja jika panasku belum sembuh. Bunda mungkin kasihan melihat anaknya yang baru tiba dari perjalanan jauh tapi mengalami ini semua.

Dokterpun mengijinkan kami pulang, namun hasil swab tenggorokan belum keluar. Harus menunggu 2 sampai 3 hari lagi. Akhirnya aku benar-benar pulang ke rumah. Kupeluk bunda sepanjang perjalanan. Aku peulang bersama ayah, bunda, om dan beberapa orang lainnya yang tak kukenal.

Sepanjang perjalanan aku tertidur di pangkuan bunda. Tak terasa sebentar lagi aku sampai di rumah. Senang rasanya aku bisa tidur di kasurku lagi. Belum lagi aku akan makan masakan bunda yang enak. Sudah lama aku tidak menyantap masakan ikan khas daerahku yang disebut bau peapi. Membayangkannya saja membuat liurku berkumpul memenuhi mulut.

Yey. Akhirnya pulang. Aku melompat keluar dari mobil. Aku berlari membuka pintu saking semangatnya sampai di rumah. Sesampaiku di rumah, aku langsung menuju kamar mandi. Aku ingat pesan bunda agar langsung mandi dan keramas untuk mengurangi resiko infeksi virus.

Meskipun semalam aku demam, tapi aku tetap keramas. Kan ngeri jika virus itu benar-benar menempel padaku. Setelah mandi segera kuganti pakaianku menggunakan piyama.

Entah mengapa dadaku mulai terasa sesak, bernafas rasanya mulai agak berat dan sakit, tenggorokanku juga gatal dan sakit. Aku meminta air hangat pada bunda. Mungkin bisa sedikit melegakan tenggorokanku yang bermasalah.

Tak terasa dua hari telah terlewati di kampung halamanku. Tiba-tiba ada telpon mengejutkan dari rumah sakit tempatku dirawat. AKU POSITIF CORONA. Akhirnya daerahku yang awalnya bersih dari corona, sekarang sudah pecah telur. Dan aku yang memecahkannya.
Bagaikan disambar gledek, berita itu begitu menghujam jantung dan perasaan kedua orang tuaku, khususnya bunda. Bunda tak berhenti menangis. Begitupun dengan ayah dan saudaraku yang lain.

Kabar itu tersebar bagai kilat. Wajahku tiba-tiba menjadi sosok yang viral di seantero provinsiku. Ada yang iba dan ada pula yang mencibir. Aku kalut, tak tahu harus berbuat apa. Mungkin tak lama lagi aku dijemput untuk segera diisolasi di rumah sakit.

Netraku berembun, tak terasa buliran-buliran air mata jatuh membasahi pipiku. Aku tak kuasa menahan tangis tapi tetap kucoba tegar. Agar keluargaku tak terlalu sedih melepaskanku. Entah aku bisa kembali sehat atau bagaimana. Entahlah, aku tak tahu.

Pakaian yang baru beberapa hari kurapikan ke dalam lemariku. Kini kubongkar kembali, aku memasukkannya ke dalam koper untuk kubawa pergi saat isolasi. Ah, baru sebentar rasanya kunikmati ketenangan yang ada di rumah ini. tapi aku harus meninggalkannya dan tak tau kapan kembali.

Kuambil koperku, kukenakan gamis berwarna biru muda . aku duduk di ruang tamu menunggu mobil ambulance yang akan menjemputku. Kucoba menenangkan bunda dan keluargaku.

“Bunda jangan sedih ya, insyaAllah hafidzah kuat. Mungkin ini adalah cobaan Allah pada Hafidzah, Hafidzah disuruh lebih rajin lagi murajaah Qur’annya”, seruku pada buda mencoba untuk tegar walau sulit.

“Iya nak, bunda tau ini cobaan. Mengapa harus kamu yang terkena virus. Mengapa bukan bunda aja ?”, ucap bunda sambil mengusap air matanya. Air mata itu tak pernah berhenti mengalir semenjak tahu bahwa aku positif corona.

“Bunda jangan bilang begitu. Ini cobaan untuk kita semua. Bunda, ayah, kakak, adik dan semua keluarga harus bersabar. insyaAllah Hafidzah kuat”, aku mencoba tersenyum untuk mengurangi kesedihan keluargaku
Sekitar 30 menit kumenunggu akhirnya terdengar suara sirine ambulance yang menyayat hati. Akhirnya aku dijemput. Aku harus diisolasi di rumah sakit provinsiku. Perjalanannya memakan waktu sekitar 3-5 jam. Semua orang yang ada di rumahku dan yang pernah berinteraksi denganku mau tidak mau harus dikarantina. Aku berangkat sendiri.

Kulambaikan tangan ke arah rumahku. Kulihat banyak tetangga yang mengintip dari balik jendela ataupun depan rumah mereka. Ada beberapa pasang mata yang iba padaku dan keluargaku. Dan adapula yang melihat dengan tatapan jijik. Seolah-olah aku dan keluargaku adalah aib yang hina dina.

Aku tak terima tatapan itu. Itu membuat hatiku pilu, sakit seperti terkoyak. Tak bisa kubayangkan cacian dan makian yang akan dilontarkan orang-orang pada keluargaku karena aku menderita corona. Tak tega rasanya.

Aku juga tak ingin menderita penyakit ini, tak tahu mengapa ia menempel padaku. Padahal aku sudah berusaha mengikuti saran bunda agar bisa mengurangi penularan virus ini. Mungkin ini takdir Allah. Kucoba berpikir positif, mengambil ibrah atas semua kejadian ini.
Kunikmati perjalanan yang menyakitkan ini. melewati laut dan pantai serta jalanan berkelok-kelok melewati pegunungan. Pemandangannya sungguh indah.

Pemandangan yang sudah lama tak kulihat di kota orang.
Tiba-tiba petugas mengetuk jendela kecil di depanku dan memberi tahu bahwa sebentar lagi kami akan memasuki kota dan tiba di rumah sakit. Kupersiapkan diri dan hatiku. Tak lama kemudian kami memasuki gerbang rumah sakit.

Baru turun dari mobil, sudah banyak yang kamera yang memotretku. Entah itu menggunakan kamera ponsel atau kamera wartawan yang aku tak tahu namanya. Aku dibaringkan di atas kasur yang ada trolinya dilengkapi dengan berbagai macam alat pelindung agar aku tak menularkan virus sial ini. Aku menjalani pemeriksaan awal sebelum dibawa ke kamar.

Aku dibawa ke ruangan khusus yang jauh dari kamar lainnya. Sesampainya di kamar rumah sakit , kulihat perlengkapan yang kusiapkan dari rumah sudah tertata rapi disana. Mungkin itu diantarkan ketika aku diperiksa tadi.

Kuperiksa tasku, kucari handuk. Aku ingin mandi, gerah rasanya sedari tadi berbaring di mobil ambulance di sepanjang perjalanan. Selesai mandi akupun berganti baju, mengenakan baju piyama dan tetap memakai jilbabku.

Kuistirahatkan badanku sejenak. Kutelpon bunda untuk mengabarkan bahwa aku telah tiba di rumah sakit. Setelah itu kuambil Qur’an yang ada di tas. Inilah satu-satunya pengobat hati dan ragaku yang tengah sakit. Aku melakukan murajaah sambil meneteskan air mata. Kulantunkan Qur’an dengan syahdu.

Aku sempatkan untuk shalat 2 rakaat. Kutumpahkan semua tangisku di atas sajadah. Aku mengadu padaNya. Kuluapkan semua hal yang mengganjal di hatiku. Ya Rabb, aku datang padaMu, aku bersimpuh kepadaMu. Angkatlah penyakit ini, muliakanlah kedua orang tuaku dan keluargaku. Tegarkanlah mereka. Kantung mataku mendadak bengkak setelah aku mengadu padaNya.

Hatiku sakit mengingat tatapan orang-orang padaku, dan ragaku sakit karena virus ini. aku tidak berani membuka gawaiku. Tak terbayangkan wajahku terpampang di media sosial ataupun berita lokal di daerahku. Aku takut tapi ada rasa penasaran yang mengusikku.

Akhirnya kuselesaikan bacaan Qur’anku dan kuberanikan diri membuka gawai. Kucek berita di laman pencarian tentang kasus corona di Sulawesi Barat. Tak lupa kucek media sosialku. Ternyata memang benar. Wajahku terpampang dengan jelas disana.

Kulihat komentar-komentar netizen. Banyak yang menuliskan sumpah serapahnya kepadaku. Dan ada yang marah karena aku mudik ke kampung. Namun banyak pula yang memberikan support kepadaku.

Lagi-lagi aku teringat keluargaku yang jauh disana. Apakah mereka melihat berita ini ? pasti mereka sangat sedih. Sekali lagi akupun tak mau sakit begini.
Ku scroll lagi media sosialku, ternyata banyak juga yang memberikan dukungan kepadaku. Dalam hati kuucap syukur karena masih banyak orang yang berhati lembut dan kasihan kepadaku.

Saat ini aku membutuhkan dukungan, bukaan hinaan, cacian apalagi sumpah serapah.
Aku ingin berjuang melawan penyakit durjana ini. Tolong aku dengan mendoakan kesembuhanku. Bantu aku bangkit kembali. Akupun ingin pulang, bermanja-manja dengan bunda dan ayahku serta keluargaku yang lainnya.
Aku rindu bunda dan ayahku.

Tamat
————————————–
Cerpen ini hanyalah fiktif, berdasarkan opini penulis.
Mohon maaf jika ada kata-kata yang menyinggung atau menyakiti.

Kudedikasikan tulisan ini pada adik J. Hafidzah yang tengah diisolasi beserta keluarga.
Kami bangga padamu yang senantiasa melantunkan ayat suci Al Quran meskipun dalam kondisi seperti ini. Tak semua orang bisa menjadi hafidzah sepertimu.

Cepatlah sembuh, tegarlah menghadapi ujian ini. Kami bersamamu, senantiasa mendoakan yang terbaik. Tak perlu dengarkan mereka yang berbicara sumbang di luar sana.

Berharap tulisan ini bisa sampai padamu, keluarga atau kenalanmu dan sedikit memberi semangat.

Syafakillah, get well soon dear.

Campalagian, 31 Maret 2020

     

Tinggalkan Balasan