ENEWS, BONE •• Di sebuah ruang pertemuan sederhana di Wisma Nasional, Watampone, Kamis (6/11/2025), puluhan peserta didik Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Forum Pemerhati Anak Indonesia (PKBM FP2AI) tampak duduk rapi, memperhatikan layar proyektor yang masih gelap.
Suasananya tidak semegah seminar di hotel-hotel kota besar. Namun di sanalah, perlawanan terhadap narkoba dirajut perlahan, dimulai dari percakapan, kesadaran, dan keberanian untuk berkata tidak.
PKBM FP2AI bukanlah lembaga baru. Berjalan dengan 640 peserta didik dan memiliki sejumlah cabang di Kabupaten Bone, institusi ini ibarat rumah kedua bagi anak-anak yang ingin terus belajar di luar jalur pendidikan formal. Kepala PKBM, Mastiawati SH, tersenyum hangat saat membuka kegiatan.
“Pelatihan seperti ini sudah sering kami lakukan. Namun kami ingin memberikan pengalaman baru kepada anak-anak terkait bagaimana melawan narkoba. Itulah mengapa kami mengundang Forbes,” ujarnya. Di balik kalimat yang terlihat sederhana itu, terdapat kekhawatiran yang diam, kecemasan tentang bahaya yang semakin dekat menyusup melalui gawai, lingkungan, hingga ajakan pertemanan.
Hari itu, Forum Bersama (Forbes) Anti Narkoba Bone datang bukan sekadar memberi materi. Mereka membawa pesan, pengalaman, dan cerita yang tidak dibaca dari buku.
Ketua Forbes Bone, Andi Singkeru Rukka, mengambil mikrofon. Suaranya tegas, tetapi tidak menggurui. Ia memilih kata yang menyentuh, bukan menghakimi.
“Mari lakukan perang proksi terhadap narkoba,” ucapnya. Istilah itu membuat ruangan hening sejenak. “Perang proksi itu berarti kita tidak menunggu menjadi korban. Kita lawan dari sekarang. Dari lingkungan. Dari media sosial kita. Dari cara kita bicara dan memilih teman. Tidak ada alasan untuk tidak peduli karena narkoba merusak kita semua.”
Beberapa peserta angguk-angguk, sebagian lainnya mulai menyalakan ponsel, mengabadikan pesan itu seperti mengikatnya ke ingatan.
Namun momen paling sunyi namun kuat adalah ketika Syamsuddin, Ketua I Forbes Bone, maju. Ia tidak membawa slide. Tidak membawa catatan. Ia hanya membawa kisahnya sendiri.
Dengan suara yang pelan dan mantap, ia menceritakan masa ketika hidupnya pernah tenggelam dalam dunia gelap narkoba. Ia menggambarkan dunia itu bukan dengan metafora, tetapi dengan rasa.
“Di sana, kamu mungkin merasa seperti raja. Tapi sebenarnya kamu sedang jatuh, semakin dalam,” katanya. Ruangan kembali sunyi. Beberapa peserta menunduk. Ada yang menggigit bibir. Ada yang menarik napas panjang.
Syamsuddin telah kembali. Namun ia datang untuk memastikan tidak ada lagi yang menyusul.
Kegiatan sore itu bukan sekadar pendidikan, bukan pula formalitas program. Ia adalah sebuah ajakan pulang, ajakan untuk menjaga diri, menjaga teman, menjaga mimpi.
Dan ketika acara ditutup, para peserta didik keluar dengan wajah berbeda. Tidak ada tepuk tangan meriah. Tidak perlu. Yang tertinggal adalah kesadaran yang baru tumbuh, pelan namun kuat.
Kesadaran bahwa perlawanan terhadap narkoba bukan hanya tugas aparat atau lembaga. Tapi tugas siapa saja yang peduli pada masa depan.
Termasuk anak-anak muda yang hari itu duduk mendengarkan dengan mata bening dan hati terbuka. (Red)




