ENEWSINDONESIA.COM, BONE – Pasca terbakarnya Bola Soba, Pemerintah Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan (Sulsel) berencana membangun pusat kebudayaan di Kecamatan Palakka, Kabupaten Bone yang di dalamnya terdiri dari miniatur rumah adat Bone termasuk Bola Soba.
Tak mau ketinggalan dengan hal itu, sekelompok masyarakat di Bone juga meminta izin ke pemerintah untuk membangun Bola Subbi. Gayung bersambut, pemerintah memberi izin dan area yang diberikan yaitu di area pusat budaya tersebut.
Kelompok masyarakat tersebut menamai dirinya Assitobonengeng yang diketuai oleh Andi Singkeru Rukka.
“Jika ada masyarakat yang ingin berbuat untuk kemajuan Bone, kenapa mesti kita halangi, kita dukung sama-sama,” kata Penjabat (Pj) Bupati Bone, Andi Islamuddin, Minggu (21/4/2024).
Tepat pada perayaan puncak Hari Jadi Bone (HJB) ke-694, Ormas Assitobonengeng diberi kesempatan melaunching nomor rekening donasi sekaligus maksud dan tujuan pembangunan Bola Subbi secara swadaya tersebut di depan para tamu undangan.
Hal itu juga disambut baik Pj Gubernur Sulsel Bahtiar Baharuddin Daeng Mappuji dan Kapolda Sulsel Irjen Pol Rian R Djajadi.
“Mari masyarakat Bone, baik yang ada di Bone maupun yang ada di tanah rantau untuk bersama-sama bergotong royong membangun Bola Subbi. Mari berdonasi,” kata Pj Gubernur Sulse saat ditemui Enewsindonesia.com.
Hal senada juga disampaikan, Kapolda Sulsel, “Mari berdonasi, nanti kekurangannya akan kami tutupi”.
Meski demikian, ketua Assitobonengeng Andi Singkeru Rukka menyebut bahwa donasi tersebut dibatasi Rp100 ribu per orang.
Kenapa Mesti Rp100 Ribu Saja?
Dalam diskusi bersama Enewsindonesia.com, Andi Singkeru Rukka menjelaskan bahwa donasi dibatasi Rp100 ribu per kepala karena pihaknya ingin membangun kesamaan, kesederajatan sama tinggi dan rendah antara Arung na To Sama’e (keturunan raja dan rakyat) antara To Sugi (orang kaya) dengan To Peddi (orang miskin), antara pejabat dengan rakyat biasa dengan tetap menghormati Wari (aturan adat yang sudah disepakati) sebagai salah satu unsur Pangadereng (adat istiadat) yang bermakna kepatutan dan kepantasan dengan asas Mappallaiseng (mampu membedakan yang baik dan yang buruk).
“Yang kita bangun bukan hanya bangunan, tetapi juga nilai-nilai Sipakatau (saling memanusiakan) dan Sipakalebbi (saling memuliakan). Dengan dibangunnya Bola Ade’ta (Rumah adat kita) menjadi penanda tegaknya nilai-nilai Ade’ Pangaderetta (adat istiadat kita) dan juga nilai-nilai kebersamaan agar Bola Ade’ta (rumah adat kita) menjadi milik kita semua, menjadi milik rakyat Bone,” jelasnya, Selasa (23/4/2024).
“Membangun fisiknya mungkin sangat mudah, karena hanya satu orang To Sugi (orang kaya) itu sudah dapat selesai pembangunnya,” sambungnya.
Lebih lanjut ia memaparkan, kebudayaan terkhusus di Bone saat ini terdegradasi oleh peradaban luar yang kontra produktif dengan nilai-nilai yang lahir dan tumbuh di kehidupan masyarakat, namun tak dapat dibatasi apalagi dihalangi gempuran peradaban yang sekuler dan liberal.
“Tegaknya kebudayaan kita juga menjadi supporting utama pembentukan watak, karakter generasi muda kita, karena sungguh sangat ironi jika proses regenerasi kepemimpinan ini tidak dibarengi dengan regenerasi nilai-nilai hingga generasi kita tak mampu menjadi bijak melawan gempuran peradaban,” ujarnya.
Lebih jauh ia menjelaskan, menjadi sangat penting pendidikan yang berjenjang tidak hanya diajari pengetahuan tetapi juga watak dan karakter agar dapat memiliki kemuliaan perilaku yang Malempu (jujur), Magetteng (tegas), Ada Tongeng (berkatan benar), Sipakatau (salaing memanusiakan), Sipakalebbi (saling memuliakan), Sipakainge (saling mengingatkan).
“Generasi yang dapat Mabbulo Sipeppa, Malilu Sipakainge, Mali Siparappe, Nennia Rebba Sipatokkong (saling menegakkan, bila hanyut saling mendamparkan, dan saling mengingatkan satu sama lain. Red),” pungkasnya. (Am)